Ilustrasi bekerja di kantor. (IDN Times/Panji Galih Aksoro)
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga dinilai merugikan pekerja karena menghapus beberapa bentuk cuti berbayar, termasuk cuti haid, cuti pribadi (seperti pernikahan, sunat, pembaptisan, atau kematian anggota keluarga), cuti melahirkan, dan hari raya keagamaan. Selama ini, jenis-jenis cuti tersebut merupakan cuti tambahan di luar jatah cuti tahunan 12 hari.
“Pemerintah dan DPR harus segera mengkaji ulang pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar HAM. Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak pekerja dilindungi, sejalan dengan hukum nasional dan standar HAM internasional,” sebut Usman.
Sementara dalam prosesnya, penyusunan Omnibus Ciptaker tidak terbuka dan tidak transparan. Pemerintah mengklaim telah melibatkan 14 serikat pekerja sebagai bagian dari proses konsultasi publik.
Tetapi seluruh serikat pekerja tersebut membantah klaim pemerintah dan menyatakan bahwa mereka tidak pernah dilibatkan sejak awal proses penyusunan. Ini berarti tidak ada interaksi yang jujur dan terbuka antara otoritas pemerintah dan kelompok masyarakat terkait penyusunannya.
“Seharusnya para serikat pekerja dilibatkan dalam proses penyusunannya sejak awal, karena anggota merekalah yang akan terdampak langsung oleh RUU tersebut. Setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik, dan itu dijamin dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak‑Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Suara dan aspirasi kelompok buruh dan pekerja harusnya menjadi pertimbangan utama pemerintah dan DPR,” ujar Usman.