Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan bahwa isu KTP elektronik (e-KTP) bagi Warga Negara Asing (WNA) perlu diluruskan. Pasalnya, persepsi dan kepercayaan masyarakat jadi taruhannya, terlebih jelang Pemilu 2019.

“Jika tidak, bisa memengaruhi persepsi dan kepercaayaan publik terhadap Pemilu 2019. Bukan soal tingkat kerawanan besar atau tidak, lebih dari itu, ancamannya adalah persepi karena emosional pemilih. Pemilih kita mudah diprovokasi emosinya soal asing, ras, dan suku,” kata Titi di Jakarta, Sabtu (2/3).

Titi menjabarkan 5 alasan yang membuat isu e-KTP ini cepat panas dan dikhawatirkan memengaruhi persepsi dan kepercayaan publik.

1. Masyarakat gagal paham soal e-KTP WNA

IDNTimes/Fitang Adhitia

Secara awam, masyarakat memahami bahwa e-KTP adalah identitas warga negara Indonesia. Gak heran, begitu ada WNA punya e-KTP, banyak yang mempermasalahkan.

“Itu pemahaman awam, bahwa e-KTP sama dengan identitas warga negara Indonesia, padahal belum tentu benar ya,” katanya. Terlebih, sudah ada aturannya yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.

2. Ada kesenjangan informasi yang dipahami masyarakat dan pemerintah

Antara Foto/Raisan Al Farisi

Kalau pemerintah, mereka memang dianggap wajar menguasai informasi yang ada karena posisi sebagai sumber. Sayangnya, ada kesenjangan informasi atau disparitas yang didapatkan masyarakat. Terlebih, karena isu ini gak familiar di masyarakat, jadi gagal paham. “Apa yang dipahami publik berbeda dengan pengaturan yang ada, karena isu ini bukan yang familiar di masyarakat,” ucap Titi.

3. Ketatnya kompetisi di Pemilu, baik Pilpres atau Pileg

bali.kpu.go.id

Menurut Titi, alasan ketiga kenapa isu e-KTP WNA ini ramai dan cepat panas adalah karena Pemilu 2019 sangat kompetitif bagi peserta Pemilu. “Pilpres hanya ada 2 calon sehingga pertaruhan ada pada suara 17 April nanti karena tidak ada putaran kedua. Pileg, banyak parpol berhadapan dengan parlementary treshold sebesar 4 persen, sehingga tiap suara sangat berharga bagi nasib peserta Pemilu,” jelasnya.

4. e-KTP bukan cuma tanda pengenal, tapi jadi syarat menyoblos

Dok.IDNTimes/Istimewa

Perubahan e-KTP dari yang awalnya syarat administrasi kependudukan dan kini menjadi pra-syarat untuk akses memilih, ternyata jadi masalah sendiri. Menurut Pasal 348 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, hanya pemilih ber-KTP elektronik yang bisa menggunakan hak pilih. “Pada hari pemungutan suara nanti, baik yang terdaftar di DPT, DPT-B, maupun tidak terdaftar, itu yang bisa gunakan hak pilih. Jadi e-KTP syarat satu-satunya bisa gunakan hak pilih,”ujar Titi.

5. Isu yang gampang sekali 'digoreng'

pixabay.com/geralt

Terakhir, isu ini populis untuk 'digoreng'. Terlebih, karena menyangkut isu sensasional dan mudah memprovokasi pemilih secara emosional. “Ada isu asing aseng. Itu kan isu yang mudah memprovokasi pemilih Indonesia, dilihat dari background sosiologi dan konteks politik kita hari ini,” sebut Titi.

Editorial Team