80 Tahun Indonesia Merdeka, AKSI Ingatkan Bahaya Kemerosotan Nasional

- AKSI mengingatkan bahaya kemerosotan nasional di Indonesia
- Konferensi pers dihadiri oleh sejumlah tokoh lintas bidang
- AKSI ajukan tiga tuntutan kepada pemerintah terkait kebijakan yang membawa kemerosotan nasional
Jakarta, IDN Times - Menyambut peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mengingatkan adanya ancaman serius terhadap keberlangsungan demokrasi dan kemanusiaan di Tanah Air. AKSI menilai, sendi-sendi Republik kini mengalami kerusakan yang mengarah pada “kemerosotan nasional”.
Menurut AKSI, hilangnya penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, lemahnya penegakan supremasi hukum, dan tidak adanya perlakuan setara bagi setiap warga negara sebagai indikator kemunduran tersebut. Padahal, Indonesia pernah menjadi inspirasi dunia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Konferensi Asia Afrika 1955.
"Warga Indonesia mewarisi trauma dan mengalami depolitisasi akibat gagasan kebangsaan berhenti sebatas diskursus pembangunan dan stabilitas keamanan yang berbasis ultra-nasionalisme. Bahkan warga Indonesia juga mewarisi kesenjangan ekonomi akibat dominasi segelintir orang terkaya yang menguasai setara kekayaan 50 juta orang," ungkap AKSI dalam konferensi bersama Amnesty International Indonesia di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
1. Pemerintah dinilai tengah dorong Indonesia ke kemerosotan nasional

Konferensi pers tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh lintas bidang. Hadir di antaranya Jaksa Agung periode 1999–2001 yang juga aktivis HAM, Marzuki Darusman, sejarawan Asvi Warman Adam dan Andi Achdian. Kemudian aktivis sekaligus sejarawan Firda, aktivis HAM dan peneliti sejarah Ita Fatia Nadia, Direktur Lab45 Jaleswari Pramodhawardani, Profesor Antropologi Hukum Sulistyowati Irianto, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, dan serta aktivis HAM Amiruddin Al Rahab.
Menurut AKSI, Tragedi 1965 menjadi titik balik yang mengubah arah Indonesia dari negeri pembebasan menjadi negara yang menindas kemanusiaan di bawah kendali militerisme Orde Baru. Upaya membangun bangsa berhenti, digantikan “pembangunan” nasional yang dinilai semu.
“Pemerintah Indonesia tengah mendorong Indonesia ke dalam kemerosotan nasional (national decline) dari segi kerakyatan, dengan hancurnya sendi-sendi pemerintahan demokratis yang kini digantikan oleh Negara Keamanan Nasional,” ungkap AKSI.
2. Prinsip negara keamanan nasional warisan 1965 lumpuhkan kesadaran rakyat

AKSI menambahkan, prinsip Negara Keamanan Nasional telah dibangun sejak pengambilalihan kekuasaan pada 1965 dan diteruskan pada masa 30 tahun sesudah Orde Baru, melalui pemusatan kekuasaan dan manipulasi undang-undang.
Situasi itu, disebut melumpuhkan kesadaran sejarah rakyat dan kedaulatan manusia sebagai individu yang berpikir, hingga melahirkan masyarakat pasif dan apolitis.
“Negara berdiri di atas infrastruktur impunitas, ketiadaan akuntabilitas terhadap pelanggaran HAM yang berat masa lalu, yang menanamkan ketakutan dan kecemasan bagi generasi muda melalui jargon ‘bahaya laten’, ‘ancaman asing’, dan ‘antek asing’, atas nama nasionalisme darurat yang agresif. Padahal, yang dibutuhkan Indonesia adalah nasionalisme kemanusiaan yang progresif,” ungkap AKSI.
3. AKSI ajukan tiga tuntutan kepada pemerintah

AKSI menilai, 10 bulan Pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan kemiripan pola dengan Orde Baru yakni militeristik, penggunaan kekerasan, teror, pengabaian HAM, dan sikap anti-intelektual.
AKSI mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah. Mulai dari mendesak pemerintah mencabut berbagai kebijakan yang membawa kemerosotan nasional, seperti kebijakan penulisan ulang sejarah, penetapan hari kebudayaan nasional, dan pemberian gelar kehormatan untuk orang-orang yang jelas telah merusak sendi-sendi kemanusiaan dan kebangsaan di masa silam
Kemudian mendesak pemerintah menghentikan praktik-praktik otoriter melalui kebijakan atau upaya lainnya yang mematikan sendi-sendi demokrasi, termasuk yang melumpuhkan fungsi partai politik dalam permusyawaratan perwakilan rakyat, seperti pembentukan Koalisi Indonesia Maju.
Hingga mendesak pemerintah hentikan kriminalisasi pada kebebasan berekspresi melalui berbagai instrumen hukum dan tindak kekerasan aparat terhadap berbagai elemen masyarakat yang bersuara kritis.