Swary Utami Dewi: Mengadvokasi Masyarakat Lewat Isu Perhutanan Sosial

Sepertiga orang miskin Indonesia tinggal di kawasan hutan

Jakarta, IDN Times - Swary Utami Dewi, seorang pegiat isu perhutanan sosial, pemberdayaan masyarakat, hingga perubahan dan krisis iklim, menyampaikan kisah awal mula perjalanannya menekuni isu perhutanan sosial.

Utami atau Tami membagikan kisah perjuangannya dalam program “101 Climate Change Actions” yang diselenggarakan oleh IDN Times dan ditayangkan secara live di akun Instagram @idntimes.com, Rabu (22/12/2021) pukul 16.00 WIB. IDN Times sendiri menjadikan Desember sebagai bulan Peduli Perubahan Iklim.

Seperti apa penuturan Tami, yuk simak di bawah ini.

Baca Juga: Nadine Chandrawinata: Segera Benahi 3 Aspek Ini untuk Perubahan Iklim

1. Lahir sebagai orang Dayak Ngaju, sejak kecil hidup berpindah-pindah

Swary Utami Dewi: Mengadvokasi Masyarakat Lewat Isu Perhutanan SosialSwary Utami Dewi (Facebook Swary Utami Dewi)

Tami merupakan orang asli Dayak Ngaju. "Dayak Ngaju itu di Kalimantan Tengah, itu salah satu komunitas Dayak yang terbesar di Kalimantan Tengah. Jadi di situ banyak Dayak, cuma dia yang utama. Jadi kalau di Kalimantan Tengah itu lingua franca-nya sesama Dayak itu pakai Dayak Ngaju," ujar Tami memperkenalkan asalnya. 

Tami mengatakan, meski lahir di Kalimantan Tengah, namun sejak kecil ia hidup berpindah-pindah mengikuti kedua orang tuanya.

"Dari kecil pindah-pindah karena kedua orang tua orang Dayak. Bahasa Dayak masih sangat lancar, belajar tari Dayak, tahu makanan Dayak, sering bolak-balik, ya begitulah," ungkap Tami.

2. Menguasai banyak bahasa daerah karena sering pindah-pindah

Swary Utami Dewi: Mengadvokasi Masyarakat Lewat Isu Perhutanan SosialSwary Utami Dewi (Facebook Swary Utami Dewi)

Tami diketahui menguasai 10 bahasa. Namun, ia mengklarifikasi jika itu adalah bahasa dari berbagai daerah sebagai hasil dari hidupnya yang sering berpindah-pindah. 

"Itu bahasa daerah. Bahasa Dayak, Banjar, Jambi, Palembang, Padang, Sunda, Jawa, Melayu sedikit. Itu karena sering pindah-pindah. Iya, orang tua PNS. Kalau papa dulu di Departemen Keuangan sekarang Kementerian Keuangan. Saya lahir di Kalimantan, TK di dua tempat karena harus pindah di Palangka Raya dan Jakarta, terus SD juga di dua tempat," ungkapnya.

"SMP dan SMA agak beruntung di Jambi. Terus kuliah di UI, terus kuliah lagi, dan mama juga PNS di Kementerian dulu namanya Depdikbud, jadi percampuran antara Kementerian Keuangan sama Kemendikbud," ucap Tami.

Tami diketahui menyelesaikan pendidikan D3 dan S1 di Universitas Indonesia.

3. Alasan mengadvokasi masyarakat yang tinggal di kawasan hutan

Swary Utami Dewi: Mengadvokasi Masyarakat Lewat Isu Perhutanan SosialMasyarakat yang tinggal di hutan Sintang, Kalimantan Barat (IDN Times/Sunariyah)

Tami kemudian menjelaskan kenapa dia tertarik dengan isu perhutanan sosial, sebuah isu yang notabene adalah isu sentral dalam perubahan iklim.

"Saya punya keluarga kan Dayak Ngaju ya. Dayak itu kan biasanya lekat sama hutan. Jadi, meskipun aku bukan dari petani atau apa, tapi aku punya keluarga yang mereka petani hutan. Lalu waktu kecil hidup dengan cerita-cerita dan dongeng dari nenek buyut dari mamaku, karena mamaku kan ibunya wafat waktu kecil, tentang hutan dan tentang bagaimana hubungan antara manusia Dayak dengan hutan," tutur dia.

Kenapa kemudian tertarik dengan perhutanan sosial? "Dulu sama teman-teman LSM ini kita melihat, walaupun tidak ada data yang jelas, tetapi paling tidak itu kalau misalnya ada data dari C4 dan segala macam yang masih kita pegang, sepertiga dari orang miskin di Indonesia itu tinggal di kawasan hutan negara. Kalau sekarang, irisan dari desa yang masuk kawasan hutan itu sekitar 35.000 desa," ujarnya.

Menurut Tami, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 50 persen desa ada di kawasan hutan.

"Nah, di situ tinggal orang yang seperti keluarga saya yang sudah turun temurun, atau ada banyak sekali komunitas yang memang sudah tahu bagaimana cara menjaga hutan, karena itu sudah menjadi bagian dari hidup mereka," bebernya.

Namun sayangnya, kata Tami, kebijakan masa lalu hanya memperkaya orang-orang yang punya HPH dan HTI, bukan masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan. Kebijakan hanya memperkaya orang yang punya modal besar, punya kemampuan negosiasi, dan segala macam hingga mereka menguasai hutan.

"Nah, nanti kalau banjir yang kena pasti masyarakat di situ. Orang-orang yang tinggal di situ, sudah turun temurun maupun masyarakat lokal, saya tahu ada yang transmigran yang sudah dua atau tiga generasi, yang memang menggantungkan kehidupan dari kawasan hutan, itu kok mereka tidak terwadahi? Nah, kebijakan perhutanan sosial ini yang kemudian kita coba untuk advokasi," ujarnya.

Baca Juga: Cerita Nana Rahadian Lestarikan Alam Banten Lewat Rekonvasi Bhumi

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya