Umat muslim mengikuti aksi reuni 212 di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (2/12/2018) (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Frasa politik identitas kembali bermunculan di jagat maya menjelang Pemilu 2024. Frasa ini sebelumnya ramai digunakan untuk menggambarkan suasana Pemilu 2019 dan Pilgub DKI Jakarta 2017. Apa sebenarnya politik identitas itu?
Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (2012), politik identitas merupakan narasi yang hadir dari kelompok marginal atau terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas.
Maarif menilai, politik identitas sebenarnya bisa menjadi konotasi positif karena bisa menghadirkan wadah mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas.
Namun di masyarakat Indonesia, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyarakat plural dengan banyak etnis dan agama, hingga berujung pada tindakan intoleransi.
Abdillah dalam Politik Identitas Etnis (2002) juga menilai Politik identitas sebagai konotasi positif. Menurutnya, politik identitas secara garis besar merupakan kegiatan politik untuk merangkul kesamaan atas dasar persamaan-persamaan tertentu, mulai dari etnis, agama, hingga jenis kelamin.
Secara umum, politik identitas bisa dimanfaatkan oleh kelompok minoritas maupun kelompok marginal dalam upaya mendapat keadilan atau melawan ketimpangan.
Sejatinya politik identitas merupakan gerakan atau kondisi di mana sekelompok orang menggunakan identitas yang sama baik etnis, agama, maupun gender guna kepentingan kelompok.