Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kondisi cuaca panas terik di Bandar Lampung, Kamis (21/3/2024). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).
Kondisi cuaca panas terik di Bandar Lampung, Kamis (21/3/2024). (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Intinya sih...

  • Indonesia mengalami peningkatan 134 dan 234 hari terpanas berturut-turut sejak 10 tahun Perjanjian Paris.

  • Berbagai negara alami peningkatan panas serupa meski sudah melaksanakan pengurangan emisi.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Indonesia menempati posisi ketiga secara global dan pertama di Asia dalam peningkatan jumlah hari panas tertinggi berdasarkan laporan Climate Central dan World Weather Attribution (WWA). Laporan tersebut juga menjelaskan, Indonesia mengalami kenaikan 18 hari panas per tahun bahkan setelah 10 tahun Perjanjian Paris ditandatangani.

Dalam laporan Ten Years of the Paris Agreement: The Present and Future of Extreme Heat, sebelum Perjanjian Paris, pemanasan global menyentuh 4 derajat celsius yang berdampak pada peningkatan hari panas hingga mencapai 114 hari per tahun.

Wakil Presiden Bidang Sains di Climate Central Kristina Dahl, mengatakan, gelombang panas akhir-akhir ini membuktikan banyak negara yang memang belum siap menghadapi kondisi peningkatan panas 1,3 derajat celsius, terlebih 2,6 derajat celsius seperti yang telah diprakirakan.

"Dampak gelombang panas baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak negara belum siap menghadapi kondisi dengan pemanasan 1,3 derajat celcius, apalagi 2,6 derajat celcius seperti yang diperkirakan, bahkan jika seluruh janji pengurangan emisi terpenuhi," ujar dia, dikutip dari siaran pers, Selasa (22/10/2025).

1. Indonesia mengalami peningkatan 134 dan 234 hari terpanas berturut-turut

ilustrasi panas terik (pexels.com/Khanh Lee)

Sejak 2015, kenaikan suhu 0,3 derajat celsius bertambah menjadi 11 hari panas secara global. Namun, Indonesia mengalami peningkatan jumlah hari terpanas di Asia, yakni 134 dan 234 hari berturut-turut.

Rata-rata tahunan hari panas Indonesia meningkat 18 hari, dari 45 hari pada 2005 hingga 2014 menjadi 77 hari pada 2015 hingga 2024. Dengan kata lain, tingkat panas ekstrem perlu mendapat perhatian karena sering diabaikan.

2. Berbagai negara alami peningkatan panas serupa

Orang-orang berjalan, dengan beberapa memegang payung, di tengah panas terik di daerah Shinjuku Tokyo pada 28 Juni 2022 (kyodonews.com)

Tidak hanya Indonesia, Meksiko, Asia Selatan, hingga Eropa Selatan juga mengalami peningkatan jumlah hari panas. Meski sejumlah negara berhasil memenuhi rencana pengurangan emisi sesuai Perjanjian Paris, pemanasan global tetap akan mencapai 2,6 derajat celsius.

Menurut Kristina, perlu percepatan pemotongan emisi dengan lebih ambisius agar generasi mendatang dapat hidup dalam iklim aman.

"Diperlukan pemotongan emisi yang lebih cepat, lebih besar, dan lebih ambisius agar generasi mendatang dapat hidup dalam iklim yang aman," ujar dia.

3. Kebijakan yang lebih kuat dan pengurangan emisi jadi solusi paling efektif

(dari kiri) Executive Secretary United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 2010-2016, Christiana Figueres, Sekretaris Jenderal PBB 2007-2016, Ban ki-Moon, Menteri Luar Negeri & Pembangunan Internasional Perancis & Presiden COP21, Laurent Fabius, & Presiden Perancis 2012-2017, Francois Hollande, menyepakati isi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, Sabtu (12/12/2015) (UN Photo/Mark Garten)

Profesor Ilmu Iklim di Centre for Environmental Policy, Friederike Otto, mengatakan, Perjanjian Paris diadakan untuk melindungi hak asasi manusia. Menurut dia, setiap kenaikan hari panas, baik 1,5 atau 1,7 derajat celsius tidak boleh diabaikan.

"Kita memiliki semua pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan untuk bertransisi dari bahan bakar fosil, tetapi kebijakan yang lebih kuat dan adil diperlukan untuk bergerak lebih cepat. Para pemimpin politik perlu memahami tujuan utama dari Perjanjian Paris dengan lebih serius, yakni untuk melindungi hak asasi manusia kita," kata dia.

Selain itu, laporan WWA juga mengatakan, gelombang panas ekstrem sering tidak dianggap sebagai bencana. Padahal, panas ekstrem menimbulkan banyak dampak negatif yang berpengaruh pada sistem kesehatan, tenaga kerja, hingga mata pencaharian.

"Setiap fraksi derajat pemanasan, entah itu 1,4, 1,5, atau 1,7 derajat celcius akan menjadi pembeda antara keselamatan dan penderitaan bagi jutaan orang," ujar Friederike.

Menurut dia, berbagai solusi seperti penghijauan dan perlindungan tenaga kerja bermanfaat. Akan tetapi, cara yang paling efektif adalah bertransisi dari minyak, gas, dan batu bara sebagai faktor terbesar terjadinya krisis iklim.

Editorial Team