Surat Tolak Vaksin Beredar di WAG, Ini Penjelasan Ahli Hukum Kesehatan

Perhatikan landasan hukumnya, jangan sampai salah paham ya!

Jakarta, IDN Times - Belakangan ini format surat penolakan vaksin COVID-19 beredar di WhatsApp grup (WAG). Surat tersebut juga mencantumkan beberapa landasan hukum yang memungkinkan seseorang untuk menolak vaksinasi yang akan dilakukan pemerintah.

Menanggapi hal tersebut, Praktisi Hukum Kesehatan Dewa Nyoman Sutanaya mengatakan, program vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah adalah upaya penanggulangan wabah COVID-19. Hal itu bertujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia.

"(Sehingga vaksinasi COVID-19) Sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pada alinea keempat," ujar Dewa melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times pada, Selasa (5/1/2021).

Penjelasan Dewa Nyoman Sutanaya dalam menanggapi format surat penolakan vaksinasi juga telah dikonfirmasi oleh pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Berikut penjelasan Dewa terkait dasar hukum penolakan vaksinasi.

1. Hak asasi milik diri sendiri akan selalu bersinggungan dengan hak asasi milik orang lain

Surat Tolak Vaksin Beredar di WAG, Ini Penjelasan Ahli Hukum KesehatanRencana Vaksinasi COVID-19 (Sukma Shakti/IDN Times)

Dewa menjelaskan, pada UUD 1945 Pasal 28A yang berbunyi:

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Seharusnya dimaknai sebagai hak asasi yang kita miliki dan otomatis bersinggungan langsung dengan hak asasi milik orang lain. Sehingga, lanjut Dewa, sebagaimana kita berhak hidup dengan baik, orang lain juga memiliki hak yang sama.

"Maka hal ini menjadi relevan dengan kondisi saat ini dimana salah satu cara untuk memutus rantai penularan COVID-19 adalah dengan cara pemberian vaksin," katanya.

Baca Juga: Begini Alur Registrasi dan Verifikasi Peserta Vaksinasi COVID-19

2. Penderita penyakit menular tidak memiliki hak menolak vaksinasi

Surat Tolak Vaksin Beredar di WAG, Ini Penjelasan Ahli Hukum KesehatanIlustrasi pengujian klinis tahap III vaksin COVID-19. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Dewa juga menjelaskan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada UU Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 5 Ayat 3 mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk menentukan sendiri secara mandiri pelayanan kesehatan atas dirinya.

Namun, menurut Dewa masyarakat perlu melihat pengecualian hak menolak vaksinasi yang terdapat di dalam Pasal 56 ayat 2 huruf a yang berbunyi:

Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas

"Sehingga dalam hal ini penyakit COVID-19 masuk dalam kategori penyakit yang dapat menular secara lebih luas," katanya.

3. Vaksinasi COVID-19 tidak perlu persetujuan pasien

Surat Tolak Vaksin Beredar di WAG, Ini Penjelasan Ahli Hukum KesehatanPetugas kesehatan menyuntikan vaksin kepada relawan saat simulasi uji klinis vaksin COVID-19 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/8/2020) (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Selanjutnya, Dewa juga menjelaskan tindakan kedokteran yang harus mendapatkan persetujuan tindakan medis berdasarkan Permenkes 290 Tahun 2008. Ia menyampaikan terdapat pengecualian untuk tindakan yang tidak memerlukan persetujuan pasien.

"Pasien dalam kondisi gawat darurat ada di pasal 4, dan tindakan medis yang dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dan untuk kepentingan orang banyak ada di pasal 15," katanya.

"Sehingga dalam hal ini penyakit COVID-19 masuk dalam cakupan pasal ini," lanjutnya.

Dewa juga mengklarifikasi kesalahan kutipan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah dan Penyakit Menular yang dicantumkan oleh format surat penolakan vaksinasi. Dewa menjelaskan isi pasal 6 UU tersebut yaitu:

Upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif.

4. Kehalanan vaksin dan pertanggungjawaban KIPI oleh pemerintah

Surat Tolak Vaksin Beredar di WAG, Ini Penjelasan Ahli Hukum KesehatanPetugas kesehatan menunjukan vaksin saat simulasi uji klinis vaksin COVID-19 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/8/2020) (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Dewa mengatakan, terkait dengan isu vaksin COVID-19 tidak halal, maka perlu disampaikan dalam hal ini pihak MUI sedang melakukan kajian. Dari hasil kajian tersebut, MUI akan mengeluarkan sertifikasi halal

Terakhir, ia menyampaikan pertanggungjawaban KIPI telah termuat dalam Permenkes Nomor 84 tahun 2020. Pada Permenkes itu dijelaskan bahwa etiap kejadian atau dampak atau timbulnya penyakit tertentu yang memiliki hubungan kausalitas dengan pemberian vaksin COVID-19 menjadi tanggung jawab pemerintah.

5. Ada asas lex specialis derogat legi generalis pada dasar hukum penolakan vaksin

Surat Tolak Vaksin Beredar di WAG, Ini Penjelasan Ahli Hukum KesehatanPetugas kesehatan mempersiapkan vaksin COVID-19 saat simulasi pelayanan vaksinasi di Puskesmas Kemaraya, Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (18/12/2020). Simulasi tersebut dilaksanakan agar petugas kesehatan mengetahui proses penyuntikan vaksinasi COVID-19 yang direncanakan pada Maret 2021. (ANTARA FOTO/Jojon)

Dewa menjelaskan, melalui pembahasan tersebut, masyarakat dapat menyadari bahwa ada asas lex specialis derogat legi generalis di saat ingin melakukan penolakan vaksin.

Asas lex specialis derogat legi generalis adalah asas aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.

"Sehingga dengan demikian aturan hukum yang masuk dalam lingkup vaksinasi saja lah yang akan digunakan," katanya.

Baca Juga: Tim Riset Umumkan Hasil Uji Klinis Vaksin Sinovac 15 Januari 2021

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya