Pemilu 2024 Paling Tak Demokratis, Todung: Pemilih Didikte Penguasa

Todung menilai banyak sekali intervensi kekuasaan

Jakarta, IDN Times - Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis menilai pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 merupakan pesta demokrasi yang paling tidak demokratis. Menurut dia, pemilu-pemilu sebelumnya setelah era reformasi bukan berarti tidak ada masalah, tapi kali ini yang paling banyak.

Todung menuturkan selama lima bulan ikut berkampanye untuk paslon nomor urut tiga Ganjar-Mahfud, banyak sekali intervensi kekuasaan dari sebelum pencoblosan hingga pencoblosan. Ironisnya menurut dia, para pemilih didekti oleh pemerintah dengan iming-iming bantuan sosial (bansos).

"Jadi saya lihat kok begitu masif politisasi Bansos itu tidak pernah terjadi seperti sekarang ini. Ini politisi bansos ini unprecedented jumlahnya Rp496,8 T. Ini jumlah yang tidak kecil," ujarnya dalam program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times, Senin (26/2/2024).

1. Perilaku pemilih didikte oleh penguasa

Pemilu 2024 Paling Tak Demokratis, Todung: Pemilih Didikte PenguasaTodung Mulya Lubis dalam acara Real Talk with Uni Lubis pada Senin (26/2/2024). (IDN Times/Naufal Fathahillah)

Todung juga menyampaikan bahwa perilaku pemilih pada Pemilu 2024 ini terlihat didikte oleh penguasa, baik itu kepala desa, bupati, dan gubernur. Mereka mencoba mempengaruhi masyarakat untuk memilih paslon tertentu sehingga merugikan kandidat lainnya.

Menurut dia, tidak masalah bila perilaku pemilih dipengaruhi oleh patronnya. Akan tetapi, menjadi masalah besar bila ada upaya abuse of power terhadap masyarakat. Sehingga hal tersebut perlu dipertanyakan apa yang salah dari proses pelaksanaan pemilu ini.

"Jadi voting behavior sangat ditentukan oleh patronnya, ini yang terjadi. Sebetulnya patron oke aja tapi ketika menyalahgunakan kekuasaan ketika terjadi abuse of power di situ kita bertanya ini apa yang salah," ucapnya.

Baca Juga: Todung Mulya Lubis: Pemilu 2024 Paling Banyak Masalah sejak Reformasi

2. Kecurangan pemilu yang sudah terstruktur sistematis dan masif

Pemilu 2024 Paling Tak Demokratis, Todung: Pemilih Didikte PenguasaTodung Mulya Lubis dalam acara Real Talk with Uni Lubis pada Senin (26/2/2024). (IDN Times/Naufal Fathahillah)

Menurut dia, kecurangan Pemilu 2024 sudah terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dimulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia capres dan cawapres hingga berujung pencopotan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. 

Kemudian, penerimaan pendaftaran pencalonan capres dan cawapres di KPU yang masih mensyaratkan usia 40 tahun. Dia menjelaskan, KPU baru merevisi PKPU setelah pendaftaran capres dan cawapres yaitu pada 3 November 2023.

"Peraturan KPU baru diubah tanggal 3 November jadi setelah pendaftaran paslon itu dilakukan oleh KPU. Jadi abuse of power yang terjadi di sini kasat mata," kata dia.

Baca Juga: Todung Mulya Lubis: Hak Angket Bukan untuk Memakzulkan Jokowi

3. Survei LSI sebut penerima bansos dukung Prabowo-Gibran

Pemilu 2024 Paling Tak Demokratis, Todung: Pemilih Didikte PenguasaIlustrasi pemilih di sedang mencoblos (IDN Times/Linggauni)

Berdasarkan jajak pendapat yang digelar Lembaga Survei Indonesia (LSI) ditemukan ada korelasi antara penerima bansos pemerintah dengan dukungan terhadap kandidat di Pilpres 2024.

Survei ini dilakukan LSI pada 19-21 Februari 2024. Hasilnya, ada 24,8 persen responden mengaku menerima bansos dari pemerintah. Dari jumlah itu, 69,3 persen mengaku mencoblos capres dan cawapres nomor urut dua, Prabowo-Gibran.

"Di kalangan penerima bansos, dukungannya paling banyak kecenderungannya ada pada pasangan 02," kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, Minggu (24/2/2024) lalu.

Sementara itu, responden pendukung Prabowo-Gibran yang mengaku tidak menerima bansos ada sekitar 54 persen. 

"Tingkat dukungan masyarakat yang mengaku tidak menerima bansos terhadap 02 itu lebih rendah dibanding dengan (dukungan) masyarakat yang menerima bansos kepada 02," ujarnya.

Sebaliknya capres dan cawapres nomor urut 01 dan 03, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, lebih banyak menerima dukungan dari non-penerima bansos.

Proporsi penerima bansos yang mendukung Anies-Muhaimin lebih sedikit, yakni 17,6 persen, dibandingkan dengan pemilih mereka yang tidak menerima bansos sebesar 28,2 persen.

Hal yang sama juga dialami, Ganjar-Mahfud. Proporsi penerima bansos yang mencoblos mereka di bawah para pendukung yang tidak menerima bansos, yakni 13,1 berbanding 17,8 persen.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya