Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (IDN Times/Aldzah Aditya)
Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (IDN Times/Aldzah Aditya)

Intinya sih...

  • Sebanyak 758 warga telah kena UU ITE sejak 2018, dengan mayoritas sudah divonis pengadilan

  • Polri telah memproses hukum 347 orang dengan pasal karet UU ITE, seringkali karena pencemaran nama baik dan penghinaan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Amnesty International Indonesia mencatat sebanyak 710 kasus kriminalisasi menggunakan pasal-pasal ujaran kebencian dan pencemaran nama baik dalam UU ITE, terjadi sejak Januari 2018 hingga Juli 2025. Total korbannya mencapai 758 orang.

Para korban UU ITE, kata Amnesty, tersebar di 38 provinsi. Jawa Timur menjadi daerah dengan korban terbanyak, yaitu 79 orang, disusul DKI Jakarta (67), Sumatra Utara (59), Sulawesi Selatan (52), dan Jawa Barat (47).

“Tidak ada daerah yang bebas dari kasus-kasus kriminalisasi ini,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

1. Ada 758 warga kena UU ITE, mayoritas sudah divonis pengadilan

Feri Amsari dan Usman Hamid (IDN Times/Aryodamar)

Pada 2018, tercatat sedikitnya 84 kasus dengan 90 korban; tahun 2019 (167 kasus, 173 korban), 2020 (187 kasus, 198 korban), 2021 (112 kasus, 118 korban), 2022 (61 kasus, 66 korban), 2023 (63 kasus, 69 korban), dan 2024 (19 kasus, 22 korban). Sementara itu, periode Januari–Juli 2025 tercatat 17 kasus dengan 22 korban.

Dari total 758 korban, sebanyak 634 di antaranya sudah divonis di tingkat Pengadilan Negeri. Sisanya masih menjalani proses hukum, baik di pengadilan maupun tahap penyidikan..

“Lebih parahnya lagi inisiatif pemidanaan menggunakan pasal-pasal karet UU ITE ini berasal dari kepolisian sendiri lewat patroli siber,” kata dia.

2. Polri proses 347 kasus UU ITE, pasal karet jadi senjata

ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Patroli Siber Polri telah memproses hukum 347 orang, sementara ratusan korban lainnya ditetapkan sebagai tersangka setelah dilaporkan ke polisi oleh negara maupun nonnegara, seperti pemerintah daerah, TNI, organisasi masyarakat, dan perusahaan swasta. Tuduhannya antara lain pencemaran nama baik dan penghinaan.

Tiga pasal dalam UU ITE yang paling sering digunakan polisi untuk mempidanakan kebebasan berekspresi adalah Pasal 27 Ayat 1 tentang kesusilaan, Pasal 27A tentang larangan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, dan Pasal 28 Ayat 2 tentang ujaran kebencian.

“Kami juga melihat fenomena mengerikan seperti kriminalisasi berulang pada individu yang telah menjalani pidana ITE kembali dikriminalisasi dengan UU yang sama hanya kerena menyuarakan kritik,” kata Usman.

3. Krimininalisasi dugaan korupsi BOS

Proses sidang UU ITE Dian Patria Arum Sari. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Salah satu contohnya terjadi di Kabupaten Keerom, Papua, ketika seorang warga ditangkap pada 8 Juli lalu usai mengunggah kritik di media sosial tentang dugaan penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di sebuah SMA.

Pada 2019, warga yang berprofesi sebagai wiraswasta itu juga pernah dihukum tujuh bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jayapura, dengan jerat UU ITE, karena dianggap mencemarkan nama baik seorang calon gubernur Papua saat itu.

Editorial Team