Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid. (IDN Times/Amir Faisol)
Oleh sebab itu, Amnesty mendesak otoritas negara untuk memastikan pemerintahan daerah memberikan jaminan bagi warga Ahmadiyah untuk melaksanakan peribadatan, tanpa diskriminasi dan intimidasi.
Hak tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan tiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut keyakinannya.
Selain itu, ada pula Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menjamin hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing. Hak ini mencakup kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
"Negara wajib segera mencabut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Tahun 2008 yang menjadi dasar diskriminasi dan represi terhadap warga Ahmadiyah. Negara wajib menentang segala bentuk intoleransi dan diskriminasi atas dasar keyakinan agama atau atas dasar alasan karakteristik manusia yang dilindungi oleh hukum internasional hak asasi manusia," imbuh dia.
Sebelumnya, tindakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah terjadi di Kota Manado. IAIN Manado membatalkan acara bedah buku yang membahas tentang Ahmadiyah, yang dijadwalkan pada 2 Juni 2025.
Acara yang digelar Gusdurian Manado, Rumah Moderasi Beragama IAIN Manado dan Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Sulut ini mengkaji buku berjudul 'Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah' karya akademisi yang juga alumnus IAIN Manado, Samsi Pomalingo.
Acara tersebut batal setelah MUI Kota Manado dan MUI Sulawesi Utara pada 1 Juni menyurati Rektorat IAIN Manado. Mereka meminta agar kegiatan itu tidak terlaksana dengan merujuk pada SKB 3 Menteri dan Fatwa MUI terkait Ahmadiyah. Menindaklanjuti dua surat tersebut, rektor mengadakan rapat pimpinan dan memutuskan untuk membatalkan kegiatan dengan alasan guna menjaga kondusivitas kampus.