5 Fakta Ahmadiyah di Indonesia: Seabad Bertahan di Tengah Diskriminasi

- Ahmadiyah didirikan pada 1889 oleh Mirza Ghulam Ahmad dengan misi menghidupkan kembali ajaran Islam yang damai dan menegakkan syariat Islam.
- Jemaah Ahmadiyah disebut beriman pada lima rukun Islam serta enam rukun iman, dan kitab suci yang sama, Al-Quran.
- Di tengah kebebasan beragama yang dijamin negara, komunitas Ahmadiyah masih menghadapi diskriminasi sosial dan hukum di Indonesia.
Jakarta, IDN Times - Di tengah maraknya pengucilan, stigma, hingga diskriminasi yang menyelimuti komunitas Ahmadiyah di Indonesia, secercah harapan justru datang dari semangat mereka membangun masa depan, di usianya yang kini menginjak 100 tahun.
Dengan misi menghidupkan kembali ajaran Islam yang damai dan menegakkan syariat Islam, Ahmadiyah terus berupaya menyebarkan cinta, kebaikan, persaudaraan, dan kedamaian ke seluruh dunia.
Berangkat dari kontroversi yang membelit, berikut sejumlah fakta penting tentang jemaah Ahmadiyah di Indonesia.
1. Awal mula Ahmadiyah masuk Nusantara

Melansir dari laman ahmadiyah.id, jemaah Ahmadiyah atau Ahmadi didirikan Mirza Ghulam Ahmad pada 1889 ketika disebut menerima petunjuk dan perintah Allah. Ia memperkenalkan dirinya sebagai mesias atau Imam Mahdi yang muncul di akhir zaman. Misinya menghidupkan kembali ajaran Islam yang damai dan menegakkan syariat Islam.
Awal mula Ahmadiyah masuk Indonesia dilatarbelakangi keberangkatan tiga pemuda asal Sumatra Barat, yakni Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan ke India. Setelah terkesan dengan ajaran Ahmadiyah, mereka memutuskan belajar di Qadian, India.
Kemudian, pada 1924-1950, Maulana Rahmat Ali ditugaskan menjadi Mubalig di Nusantara. Sebelum kepergian Maulana Rahmat Ali ke Nusantara sebagai utusan jemaah Ahmadiyah pertama, diadakan upacara pelepasan di Qadian pada 1925.
Pada masa kemerdekaan RI, beberapa tokoh Ahmadiyah turut berjuang. Seperti R. Mohammad Muhyiddin, pegawai tinggi Kementerian Dalam Negeri, yang aktif mempertahankan kedaulatan RI di Jakarta, pada 1946 telah diangkat sebagai Sekretaris Panitia Perayaan Kemerdekaan RI yang pertama, yang sedianya juga akan memegang bendera Sang Merah Putih di muka barisan tetapi diculik Belanda dan hilang hingga kini.
Sebelum Balatentara NICA memasuki dan merebut Kota Bandung, dua mubalig Ahmadiyah, Abdul Wahid HA dan almarhum Malik Aziz Ahmad Khan, yang pada akhir 1945 bertugas di Yogyakarta, juga telah aktif sebagai penyiar RRI untuk siaran Bahasa Urdu untuk memperkenalkan perjuangan bangsa Indonesia ke benua alit India.
2. Menghidupkan kembali ajaran Islam yang damai

Sama seperti umat muslim lainnya, jemaah Ahmadiyah juga disebut beriman pada lima rukun Islam serta enam rukun iman, dan kitab suci yang sama, Al-Quran. Dalam hal yurisprudensi, mereka cenderung mengikuti mazhab hukum Islam Hanafi, tetapi semua persoalan ditinjau dari Hadhrat Masih Mau’ud (as).
Misi yang dibawa Ahmadiyah adalah untuk menghidupkan kembali ajaran Islam yang damai dan “menumbuhkan cinta kepada Tuhan dan kewajiban untuk melayani umat manusia di dalam hati manusia”. Komunitas ini menekankan kedamaian dan penafsiran spiritual jihad, dan menganut “Cinta untuk semua, kebencian tidak untuk siapa pun”.
Perbedaan penting antara Islam arus utama dan Ahmadiyah adalah keyakinannya terhadap pimpinannya. Mereka meyakini Al-Masih (juru selamat) yang dijanjikan adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as) yang lahir di Qadian.
3. Jemaah Ahmadiyah masih mengalami persekusi hingga diskriminasi

Di tengah kebebasan beragama yang dijamin negara, komunitas Ahmadiyah masih menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, baik secara sosial maupun hukum. Secara sosial, mereka kerap mengalami stigma, pengucilan, hingga perusakan tempat ibadah.
Berdasarkan catatan Setara Institute, selama 2007-2015 terdapat 114 masjid Ahmadiyah yang dirusak warga dengan dukungan aparat dan pemerintah setempat.
Selain itu, stigma buruk masyarakat juga melekat dalam komunitas mereka. Mayoritas masyarakat menganggap Ahmadiyah termasuk aliran Islam yang sesat, sebab Ahmadiyah dianggap tidak meyakini Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir.
4. Ahmadiyah disebut sesat dan dihadapkan pada berbagai regulasi pembatasan

Berdasarkan fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional (Munas) II Tahun 1980, menetapkan aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat, dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad atau keluar dari Islam.
Fatwa ini kemudian dipertegas melalui surat keputusan bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Beberapa daerah juga menerbitkan peraturan daerah yang melarang kegiatan Ahmadiyah, seperti Peraturan Gubernur Banten Nomor 5 Tahun 2011, yang berisi larangan jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyebarkan ajarannya secara lisan maupun tulisan, baik langsung maupun tidak langsung dan larangan dalam memasang atribut di ranah umum.
Sedangkan, di Provinsi Jawa Barat (Jabar), pemerintah daerah melarang kegiatan jemaah Ahmadiyah melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 12 Tahun 2011.
5. Meski terkekang, Ahmadiyah terus berkontribusi lewat aksi sosial dan pendidikan

Di balik persekusi dan diskriminasi yang terus mengintai jemaat Ahmadiyah di Indonesia, tak menyurutkan semangat komunitas Ahmadiyah untuk berkontribusi dalam pembentukan generasi muda muslim Ahmadiyah yang unggul serta berkualitas, yakni melalui pendidikan.
Terdapat dua lembaga pendidikan yang dibangun, antara lain SMA Plus Al-Wahid dan Arif Rahman Hakim (ARH) Boarding School.
SMA Plus Al-Wahid didirikan pada 2000 yang merupakan pondok pesantren dengan tujuan prioritasnya untuk mempraktikkan aspek keagamaan yang dicontohkan Rasulullah, dan larut dalam tradisi jemaat.
Selang tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 2007, Ahmadiyah mendirikan ARH Boarding School dengan visi utama memberikan pemahaman mendalam tentang agama Islam.
Di bidang kesehatan, Ahmadiyah sejak 1985 telah mencanangkan Gerakan Donor Mata kepada seluruh anggota komunitasnya, dan berusaha mensosialisasikannya kepada masyarakat luas untuk menjadi bagian dari masyarakat yang peduli, dengan teman-teman disabilitas netra yang membutuhkan donor mata.
Dalam rangka 100 tahun, jemaah Ahmadiyah tahun ini juga fokus terhadap dua program besar, yakni Kajian Al-Quran dan Gerakan Kesadaran Lingkungan, dengan menggandeng berbagai kelompok masyarakat di Indonesia baik kelompok intelektual, organisasi masyarakat sipil, kelompok agama, pemuda, perempuan, hingga pemerintah, sebagai bagian dari inklusi kontribusi Ahmadiyah untuk negeri.