TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Pemilik UMKM: Bisnis Jamur Krispi Bertahan di Tengah Pandemik

Berangkat dari keinginan untuk bantu petani jamur tiram lain

Dok. Mushi

Jakarta, IDN Times - Sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu, situasi pelik sempat menyerang nasib mayoritas petani jamur di daerah Cirebon, Jawa Barat. Persediaan jamur yang berlimpah tak berbanding lurus dengan permintaan yang ada. Keadaan ini kemudian menuntut Lia Amalia, salah seorang petani jamur di daerah tersebut, untuk memutar otak agar hasil panen rayanya tak berujung percuma. 

Mulai menemukan solusi atas kesulitan tersebut di tahun 2018 lalu, pada Maret 2020, pandemik COVID-19 malah datang dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan di Indonesia, termasuk usaha jamur olahan Lia. Hal ini tentu menjadi tantangan dan perjuangan tersendiri bagi Lia dan para petani pemasok jamur tiram untuk tetap dapat melangsungkan hidup.

1. Termotivasi untuk dukung petani jamur lokal

Blibli.com

Sekitar 4 atau 5 tahun lalu, menjadi petani jamur lokal bukanlah hal yang mudah. Kerja keras yang mereka tanam memang mereka tuai dengan hasil panen raya yang begitu melimpah dan apik.

Sayangnya, permintaan di pasar sangatlah rendah. Lia, yang juga merupakan seorang petani jamur saat itu, kemudian mulai memikirkan jalan keluar lain yang dapat memberi nilai tambah pada hasil panen jamurnya.

Ide sederhana yang terlintas di benak Lia saat itu adalah jamur krispi dalam kemasan. Mudahnya proses pembuatan akhirnya semakin meyakinkan Lia untuk mengeksekusi ide bisnis kecil-kecilannya yang dinamai Mushi tersebut.

“Cemilan ini, ‘kan, sehat, kaya akan nutrisi. Lalu, saya pikir, kalau usaha ini bisa terus berjalan, saya berniat untuk ambil jamur dari para petani lokal lain buat saya olah. Siapa tahu bisa bantu mereka juga,” katanya. 

Telaten menekuninya, Lia menceritakan, “Awalnya, saya hanya pakai plastik, label juga dicetak pada kertas biasa. Alhamdulillah, dari segi packaging juga meningkat terus sampai akhirnya sekarang pakai standing pouch metal paper dengan label depan belakang, lengkap dengan BPOM dan stamp halal, informasi nutrisi, barcode, sudah dua bahasa juga. Packaging yang baik, didukung dengan kandungan air di jamur yang sangat rendah, yaitu 0,2%, dapat membuat produk ini awet meski tanpa menggunakan bahan pengawet sekalipun.”

2. Ikuti pelatihan UMKM dan bagaimana COVID-19 pengaruhi bisnis Mushi

Blibli.com

Sekitar satu tahun yang lalu, keingintahuan Lia akhirnya menuntunnya ke sebuah pelatihan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Cirebon yang diadakan oleh Blibli.com, sebuah platform e-commerce Indonesia.

Ia mengenang, “Di sela waktu istirahat, saya bertanya pada pembicaranya, apakah mungkin bila produk saya juga diperjualbelikan secara online. Dengan antusias, pembicara tersebut menjawab bahwa Mushi bisa saja , mengapa tidak. Semenjak itu, komunikasi kami pun terus berjalan.”

Ia melanjutkan, “Saya terus dibimbing, diarahkan, dan diberi masukan agar produk Mushi dapat terus berkembang dan memenuhi standar pasar retail, bahkan pasar global. Hal ini terbukti dengan keberhasilan Mushi menembus pasar global, seperti Jepang dan Australia. Dengan New Normal ini, bila pengiriman kargo sudah dapat berjalan dengan normal, insyaallah akan dikirim ke Belgia juga.” 

Saat pandemik COVID-19 muncul di Tanah Air, Lia mengaku bahwa Mushi memang sempat terdampak. Namun, di momen inilah Lia belajar pentingnya strategi promosi guna menstabilkan pemasukan usahanya, termasuk dengan berpartisipasi di gerakan Bangga Buatan Indonesia yang diinisiasi Pemerintah Indonesia dan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA).

“Permintaan dari toko-toko retail sepi sekali, apalagi permintaan dari luar negeri. Namun, aktif di platform online merupakan sebuah keuntungan tersendiri. Mushi dibimbing untuk mengikuti program promo oleh pihak e-commerce agar permintaan tetap relatif stabil atau bahkan naik meski di tengah pandemik COVID-19,” ungkapnya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya