TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

MA Larang Pernikahan Beda Agama, Setara Institute: Pelanggaran HAM!

Dinilai tak kompatibel dengan nilai kebinekaan

Ilustrasi pernikahan. (Dok. IDN Times).

Jakarta, IDN Times - Setara Institute menilai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023, yang melarang pengadilan mengabulkan perizinan pernikahan berbeda agama, sebagai sebuah kemunduran dalam berdemokrasi.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan Surat Edaran MA ini merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Menurut dia, setiap warga negara memiliki hak memilih agamanya masing-masing.

“Kalau dia memilih maju ke pengadilan dan meminta pencatatan, berarti salah satu mereka dipaksa untuk memilih pasangan yang seagama. Apapun agamanya. Itu pemaksaan dan itu melanggar HAM,” kata dia saat dihubungi IDN Times, Rabu (19/7/2023).

Baca Juga: MA Larang Pengadilan Kabulkan Pencatatan Pernikahan Beda Agama

1. Tidak kompatibel dengan negara Pancasila

Ilustrasi pernikaha. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Menurut Halili, surat edaran yang baru saja diteken Ketua MA Muhammad Syarifuddin itu tidak kompatibel dengan Indonesia yang memilih Pancasila sebagai dasar negara. Di samping itu, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tersebut juga tidak kompatibel dengan nilai-nilai kebinekaan.

“Pancasila itu mengakomodasi keberagaman dan keagamaan,” ujar dia.

Baca Juga: MA Larang Hakim Izinkan Nikah Beda Agama, MUI: Wajib Ditaati

2. Berpotensi melanggar tiga hak dasar warga negara

ilustrasi pernikahan (pexels.com/brejeq)

Halili menjelaskan jika SEMA ini diterapkan, maka akan melanggar tiga hak dasar manusia. Pertama, memilih pernikahan dengan siapa pun atas dasar agama apapun itu bagian dari kebebasan beragama yang harus dijamin.

Kedua, setiap orang punya hak atas layanan kependudukan. Maka kalau tidak ada ruang bagi yang menikah antaragama untuk dicatat dalam proses kependudukan melalui penetapan peradilan itu, ada ruang pelanggaran atas hak layanan kependudukan itu.

Terakhir, SEMA ini potensial menjadi justifikasi stigmatisasi sosial yang selama ini berlangsung. Bahkan peliknya lagi, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 cenderung deskriminatif.

“Karena stigmanya orang nikah beda agama itu dilarang agama, tidak betul menurut ajaran agama tertentu, atau bahkan misalnya disebut tindakan zina,” kata Halili.

“Itu cara pandang konservatif dalam agama dan SEMA berpotensi menjustifikasi stigmatisasi sosial yang selama ini berlangsung atas teman teman yang memilih menikah beda agama,” sambungnya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya