TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Elsa Maharrani Ajak Ibu-ibu Menjahit Hingga Omzet Ratusan Juta

Elsa peraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2020

Elsa Maharrani Peraih Penghargaan SATU Indonesia Awards 2020. IDN Times/Andri NH

Padang, IDN Times - “Saya awalnya ragu untuk memulai, sepertinya tak mungkin. Apalagi di Kota Padang sangat susah mencari perempuan yang tekun menjahit. Menjahit butuh kesabaran dan keuletan. Orang kita kan kurang sabar. Untuk mencari penjahit perempuan di Padang ini susah.”

Demikian pengakuan Elsa Maharani, perempuan kelahiran Kota Padang, 5 Maret 1990 ketika IDN Times berkunjung ke rumahnya beberapa waktu lalu. Sosok Elsa belakangan menjadi perbincangan usai diganjar penghargaan SATU Indonesia Awards 2020 dari PT Astra Internasional Tbk.

Ia merupakan satu di antara banyak tokoh muda Indonesia untuk kategori Kewirausahaan. Jika melihat kegigihan dan ketekunannya, penghargaan itu memang pantas ia dapat. Istri Fajri Gufran Zainal ini berhasil mengangkat perekonomian warga di lingkungan tempat tinggalnya, terutama di masa pagebluk Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19.

Melalui usaha konveksi yang baru dirintis sejak akhir tahun 2018 lalu, Elsa secara mandiri mampu menambah pemasukan puluhan ibu-ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan melampaui Upah Minimum Provinsi Sumatra Barat (UMP Sumbar). Sebanyak 30 penjahit yang dinominasi kaum perempuan, kini bergabung bersama ibu dari Faguza Abdullah dan Anisa Dini Zakiyah itu.

“Maharrani nama konveksi saya. Nama itu diambil dari nama saya. Sudah saya rintis sejak akhir tahun 2018 lalu. Sekarang sudah ada sekitar 30 penjahit, ada bapak-bapak juga. Tapi yang lebih dominan Ibu-ibu yang tinggal di dekat rumah saya. Konsep yang saya usung ini sociopreneur, memberdayakan masyarakat di tempat tinggal untuk ikut serta membangun dan membesarkan usaha konveksi ini,” kata Elsa, Selasa (23/3/2021).

Baca Juga: Hari Perempuan Internasional 2021: Ajak Perempuan untuk Sadar Pilihan

1. Berawal dari coba-coba

Elsa Maharrani memberikan arahan kepada seorang penjahit. IDN Times/Andri NH

Sebelum terjun ke dunia konveksi, Elsa sempat berjualan produk hijab dari beberapa brand ternama di Indonesia. Sempat berjaya, Elsa pun didorong suami untuk menciptakan produk sendiri. Pada awalnya, Elsa sempat ragu jika usaha itu akan maju. Terutama jika melihat fakta di Kota Padang, tak banyak ibu-ibu yang hobi menjahit. Kalaupun ada, jumlahnya tak banyak. 

Namun berkat ketekunan dan percaya dengan kekuatan doa, usaha yang dirintis Elsa kian hari makin berkembang. Ia berhasil meraup keuntungan hingga ratusan juta per bulan. Kesuksesan pun berdampak terhadap masyarakat di sekitar rumahnya di Simpang Koto Tingga, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang.

Meski untuk satu helai baju yang dijahit terjual Rp 25 ribu, namun Elsa mampu memberi upah ibu-ibu tetangganya itu hingga jutaan rupiah. Bahkan beberapa di antaranya menerima upah melampaui nilai UMP Sumbar.

“Saya dulu berjualan hijab brand ternama. Saya ambil barangnya di Jakarta. Nah pada tahun 2017 itu, suami saya sempat bilang kenapa kita tidak mencoba usaha sendiri, buat produk sendiri. Awalnya saya ragu karena menjahit ini kan susah. Ditambah lagi di Kota Padang ini sedikit ibu-ibu yang menjahit. Konveksi besar pun di sini tidak ada. Tapi Alhamdulillah berkat dorongan suami, keluarga, dan doa, usaha ini kemudian maju dan berkembang,” ungkapnya bangga.

2. Makin banyak baju dijahit, pendapatan kian bertambah

Proses pembuatan pola baju di rumah jahit Elsa Maharrani. IDN Times/Andri NH

Seluruh warga di Simpang Koto Tingga yang terlibat di usaha konveksinya kini hanya menyelesaikan jahit baju koko, gamis, jilbab, masker, dan produk lain sesuai pola. Mereka mendapat upah dari produk baju Rp25 ribu per helai, sementara bahan mulai dari kain hingga benang dan kelengkapan lainnya sudah disediakan. Elsa dan ibu-ibu di sana bisa mengumpulkan 300 helai produk baju dalam satu pekan.

“Kalau bahannya itu dari kita, pola baju juga kita yang tentukan. Awalnya dulu sulit. Ada yang bisa menjahit tapi tidak sesuai dengan standar yang saya inginkan. Tapi lagi-lagi, Alhamdulillah sekarang sudah lancar. Ada ibu-ibu yang sanggup menjahit dalam sehari itu sebanyak empat helai. Semakin banyak mereka menjahit, tentu semakin banyak pendapatan yang diterima,” kata Elsa.

Baca Juga: 5 Cara Membantu Berhenti Membandingkan Diri dengan Sesama Perempuan

3. Manfaatkan kekuatan doa dan media sosial

Suasana di rumah jahit Elsa Maharrani. IDN Times/Andri NH

Saat pelaku usaha lain mengeluh karena imbas COVID-10, namun hal itu tidak berlaku bagi Elsa. Menurutnya, rezeki tetap mengalir deras meski grafik angka terkonfirmasi positif kasus corona di Sumbar kian menanjak. Kuncinya ada di kekuatan doa dan kegigihan memasarkan produk.

Work Form Home atau WFH yang diterapkan pemerintah dimanfatkan Elsa dengan baik. Apalagi WFH memang sejurus  dengan pola kerja anggotanya yang menjahit di rumah masing-masing. Justru kata Elsa, pendapatan usahanya meningkat di masa pandemik ketimbang hari biasa sebelumnya.

“WFH ini sesuai dengan pola kerja kita. Ibu-ibu menjahitnya di rumah. Begitu selesai, kita jemput atau mereka yang antar ke sini. Prokesnya jalan, dan Alhamdulillah di awal pandemik malah pendapatan kita melonjak, melampaui hari biasa. Yang penting usaha dan berdoa, rezeki sudah ada yang atur. Kita manfaatkan media sosial sebaik mungkin,” terangnya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya