TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Indonesia Berkans Jadi Negara Adidaya Penentu Arah Hadapi Krisis Iklim

Indonesia masih perlu lakukan pembenahan di beberapa sektor

Kebakaran hutan di Bukit sekitar Parapat, Simalungun beberapa waktu lalu yang diduga ulah manusia (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Jakarta, IDN Times - Indonesia berpotensi menjadi negara adidaya penentu dalam menghadapi krisis iklim karena Indonesia memiliki tutupan hujan tropis yang luas dengan menginovasi pembangunan ekonomi hijau yang bertumpu pada kesejahteraan bersama serta kesadaran menjaga lingkungan.

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Chenny Wongkar mengatakan misi menjadi negara adidaya penentu arah menghadapi krisis iklim dapat dirintis pada 31 Oktober–12 November 2021 dalam acara UN Climate Change Conference of the Parties ke-26 (COP26) yang akan digelar di Glasgow, Inggris, yang rencananya dihadiri langsung Presiden Joko"Jokowi" Widodo.

Chenny juga mengatakan Indonesia perlu berinovasi dalam pembangunan ekonomi untuk mencapat target misi tersebut.

"Indonesia perlu berinovasi dalam pembangunan ekonomi untuk mencapai target yang dimaksud di mana pembangunan mengedepankan jaminan bahwa kondisi lingkungan hidup tetap terjaga, menunjang kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kapasitas dalam menghadapi krisis iklim," kata Chenny dalam keterangan tertulis dikutip dari ANTARA, Kamis (28/10/21).

Baca Juga: Survei: Anak Muda Nilai Penggundulan Hutan Biang Kerok Perubahan Iklim

1. Indonesia perlu hentikan model ekonomi ekstraktif yang berfokus pada keuntungan jangka pendek

(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Rahmad

Chenny mengatakan Indonesia perlu menghentikan model ekonomi ekstraktif yang berfokus pada keuntungan jangka pendek dan beralih pada ekonomi hijau dengan keuntungan jangka panjang.

Langkah yang bisa diambil adalah segera beralih dari sumber energi berbasis fosil seperti batu bara dan turunannya menuju energi terbarukan. 

Langkah tersebut perlu dilakukan karena menurut Manager Energy Transformation, Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo, berdasarkan pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilient Development/LTS-LCCR 2050).

Sektor energi pada 2030 diperkirakan menghasilkan emisi lebih dari 1.100 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Sementara itu, Indonesia diharapkan menurunkan emisi agar dapat meraih Net Zero Emmission (NZE) sebelum 2060. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan implementasinya.

"Namun di sisi lain 91 persen transportasi domestik saat ini masih didominasi energi fosil. Jika transisi energi hanya dilakukan pada sumber energi tak terbarukan seperti batu bara cair atau gas, maka peralihan menuju energi terbarukan akan terhambat," kata Deon.

2. Merehabilitasi hutan-hutan yang telah terbakar dan rusak

ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Program Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Salma Zakiyah mengatakan kunci kemenangan dalam melawan krisis iklim bisa diraih dengan melindungi dan memulihkan ekosistem alam.

Salma menjelaskan dalam empat tahun terakhir Indonesia mampu meredam laju deforestasi, namun sekitar 9,6 juta hektare (ha) hutan alam Indonesia dan 2,8 juta ha ekosistem gambut masih terancam mengalami penggundulan. Sehingga perlunya rehabilitasi untuk hutan-hutan yang rusak dan terbakar.

"Pemerintah juga harus merealisasikan target 12,7 juta hektare perhutanan sosial, agar masyarakat adat atau warga lokal bisa turut menjaga hutan. Selain itu, hutan-hutan yang telah rusak dan terbakar juga perlu direhabilitasi," kata Salma.

Baca Juga: Hasil Survei: Kaum Muda Menilai Parpol Tak Peduli Isu Perubahan Iklim 

3. Pemerintah perlu mengevaluasi penggunaan teknologi pembakaran sampah (thermal incinerator)

Suasana di TPST Bantar Gebang (IDN Times/Reynaldy Wiranata)

Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia Yobel Novian Putra mengatakan untuk sektor pengelolaan sampah harus dilakukan secara menyeluruh sejak dari produksi hingga konsumsi.

Hal tersebut perlu dilakukan karena penggunaan teknologi pembakaran sampah atau thermal incinerator menghasilkan emisi dan abu yang serius berdampak pada kesehatan.

Yobel menjelaskan masih ada 514 tempat pembuangan akhir (TPA) sampah kota/kabupaten yang masih memberlakukan sistem terbuka (open dumping) dan diproyeksikan melepas gas metana 296 MT CO2e pada 2030. 

"Pemerintah perlu mengontrol pelepasan gas metana di sana," jelas Yobel.

Sehingga pemerintah perlu mengarahkan masyarakat melakukan pengomposan sampah domestik sehingga volume bisa berkurang.

"Seharusnya pengelolaan sampah harus difokuskan sejak dari hulu alias produsen dengan menegakkan Extended Producer Responsibility (EPR) yang mewajibkan mereka mengubah desain kemasan dari sekali pakai menjadi isi ulang," kata Yobel.

"Dari sisi hilir atau konsumen, mereka perlu difasilitasi mendaur ulang sampahnya dan berikan sanksi tegas harus dijatuhkan bagi mereka yang tidak memilah sampah," lanjut Yobel.

 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya