TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Buruh AICE Disebut Keguguran Hingga Mutasi Sepihak, Ini Kata PT AFI

Pihak Managemen Aice bantah tudingan buruh

Aice.co.id

Jakarta, IDN Times - Sebanyak 600 buruh es krim AICE atau PT Alpen Food Industry (AFI) mogok kerja sejak 21 Februari 2020. Informasi ini viral dan beredar luas di media sosial. Aksi mogok ini dilakukan oleh buruh yang tergabung dalam Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI).

Juru Bicara Komite Solidaritas Perjuangan untuk Buruh AICE (KSPB AICE), Sarinah mengatakan, aksi itu sebagai bentuk kekecewaan buruh yang hak-haknya tak dipenuhi. Di mana mereka mengklaim ada kondisi kerja yang tidak memadai, penggunaan buruh kontrak, buruh hamil dipekerjakan pada malam hari, hingga tingginya kasus keguguran dan kematian bayi baru lahir.

"Dalam pendataan serikat pekerja, sejak tahun lalu telah terjadi 20 kasus kematian bayi maupun keguguran dari total 359 buruh perempuan yang bekerja di pabrik AICE," kata Sarinah dalam keterangan tertulis yang diterima IDN Times di Jakarta, Minggu (1/3) malam.

Baca Juga: Aice Kucurkan Rp706 Miliar Bangun Pabrik Terbesar se-Asia Tenggara 

1. Buruh sulit mengambil maupun mengurus izin sakit

Ilustrasi Demo (Reklamasi) (IDN Times/Arief Rahmat)

Sarinah menjelaskan, buruh perempuan juga sulit mengambil cuti haid. Tak hanya itu, mereka sulit untuk mengambil maupun mengurus izin sakit. Klinik dan dokter yang ada di perusahaan itu juga diklaim sering memberikan diagnosa sendiri.

"Buruh tidak dapat mengambil second opinion dari dokter atau klinik lain. Bisa dibayangkan, buruh tidak mendapatkan layanan kesehatan secara demokratis karena satu-satunya dokter yang bisa memberikan izin sakit hanya dokter perusahaan saja," ujar Sarinah.

Pada 4 Januari 2019, serikat pekerja dan pengusaha membuat perjanjian pembayaran bonus untuk 600 orang dengan jumlah Rp1 juta per orang. Kala itu, pengusaha mengaku tak mampu membayar. Buruh pun setuju dan menerima pembayaran cek mundur yang bisa dicairkan setelah satu tahun berikutnya.

"Saat hendak dicairkan pada 5 Januari 2020, cek tersebut ternyata kosong dan tidak bisa dicairkan," kata Sarinah.

Sarinah mengatakan, sejak 2017, para buruh berusaha mempersoalkan berbagai permasalahan kondisi kerja agar mencapai kondisi kerja yang ideal, sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Namun, kerja keras mereka tampak tak setimpal dengan hasilnya.

"Apalagi, barang yang diproduksi adalah makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh banyak orang. Kualitas es krim yang dihasilkan tentu sangat bergantung dengan kondisi buruhnya," ucap Sarinah.

2. Protes buruh berujung mutasi sepihak hingga PHK

Ilustrasi demonstrasi/gosulsel.com

Sarinah menuturkan, protes yang dilakukan oleh buruh malah dijadikan alasan oleh perusahaan untuk melakukan mutasi sepihak, pemberian sanksi sepihak, skorsing, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

Buruh juga telah mediasi dengan pihak perusahaan ke Disnaker Kabupaten Bekasi, terkait upah dan masalah kontrak kerja. Mereka melaporkan permasalahan kondisi kerja ke pengawas, melaporkan permasalahan skorsing dan hak mogok ke Komnas HAM, dan melaporkan masalah buruh perempuan hamil ke Komnas Perempuan.

"Sejauh ini, Komnas Perempuan telah mengeluarkan rekomendasi agar buruh perempuan hamil tidak dipekerjakan pada malam hari. Namun, praktik kerja malam tersebut masih saja berlangsung," tutur Sarinah.

Akan tetapi, Disnaker Kabupaten Bekasi, kata Sarinah, mengeluarkan anjuran tanpa mengikuti prosedur mediasi, sebagaimana diatur dalam peraturan menteri maupun kebiasaan yang ada.

"Baru satu kali undangan mediasi, mediator langsung membuat Anjuran. Seluruh isinya persis sama dengan posisi perusahaan. Pendapat buruh sama sekali tidak didengar. Bahkan mediator menyatakan tidak ada pembicaraan soal bonus, sedangkan pembicaraan itu ada dan buruh memiliki bukti dokumentasinya," ucap dia.

Sarinah mengatakan, dalam persoalan upah, buruh telah mengajukan kompromi agar upah dikembalikan dengan hitungan baru agar mencapai upah lama (upah tidak turun).

"Asalkan kondisi kerja diperbaiki dengan benar, sehingga kompensasi dari upah yang pas-pasan ada pada kondisi kerja yang manusiawi," katanya.

"Kebocoran amoniak dan bahan kimia lain harus dicegah jangan sampai terjadi sama sekali. Akibatnya tidak dirasakan sekarang, tapi di kemudian hari. Kalau perlu bahan baku pendingin harus diganti dengan yang lebih aman," sambungnya.

3. PT. AFI: Keguguran tidak berkaitan dengan kondisi kerja

Foto ilustrasi (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Sementara itu, Legal Corporate PT AFI Simon Audry Halomoan Siagian memastikan, pihaknya telah mengikuti regulasi yang ada. Simon juga membantah jika pekerjanya yang mengalami keguguran, akibat dipekerjakan dengan tidak sesuai aturan.

"Lantas, kegiatan operasional kami dituduh sebagai faktor tunggal keguguran yang terjadi pada rekan-rekan buruh. Kami harap ini dicermati oleh pemerintah, karena data yang kami pegang valid dari tim medis rekanan kami yang bertugas di pabrik," ujar Simon.

Tim Klinik PT AFI telah melakukan medical check up terhadap buruh hamil yang mengalami keguguran. Hasilnya, pihak medis menyatakan keguguran tidak berkaitan dengan kondisi kerja.

"Sebagian bahkan tidak mengetahui sedang hamil, atau berhubungan seksual di trimester pertama," katanya.

Simon mengklaim, PT AFI sudah menjalankan ketentuan sesuai Pasal 72 Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut berisi larangan bagi pengusaha untuk mempekerjakan perempuan hamil pada shift malam (23.00 - 07.00), jika menurut keterangan dokter berbahaya.

"Bila tidak ada keterangan dokter, maka larangan tersebut tidak berlaku," jelas Simon.

4. Pemberian upah sudah mengikuti ketentuan pengupahan

(Ilustrasi) Setkab

Simon mengungkapkan, selama lima kali bipartit, buruh dan pengusaha selalu membahas tentang upah. Setiap perusahaan, kata dia, memiliki kebijakan dalam pemberian upah dan mengikuti regulasi yang ada.

"Setiap kebijakan yang ditempuh dalam menentukan kenaikan anggaran gaji mengacu dan sudah mengikuti kepada ketentuan pengupahan. Adapun mutasi, pemberian surat peringatan, dan skorsing didasarkan atas ketentuan yang berlaku," ungkap Simon.

Terkait amoniak, kegiatan usaha es krim membutuhkan senyawa tersebut sebagai pendingin yang disalurkan melalui pipa-pipa ke mesin pendingin. Simon mengaku, kejadian bocornya amoniak memang pernah terjadi sekali pada Oktober 2019 di ruang finish good (gudang bahan jadi).

Kebocoran itu disebabkan adanya kegiatan renovasi. Saat kebocoran terjadi, seluruh karyawan juga segera dievakuasi. Kebocoran pun langsung ditangani oleh tim maintenance dalam waktu satu jam.

"Setelah proses perbaikan selesai, barulah pekerja dipersilakan masuk. Tidak ada pekerja yang diminta melakukan kegiatan pembersihan saat terjadi kebocoran amoniak," jelas Simon.

5. PT. AFI telah mendapat UKL-UPL untuk menjalankan bisnis es krim AICE

Aice.co.id

Simon mengatakan, PT AFI telah mendapatkan izin lingkungan dengan nomor: 503.10/Kep.457/BPMPPT/XI/2016. Izin lingkungan tersebut dikeluarkan setelah PT AFI mendapatkan rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) untuk kegiatan industri pengolahan es krim, dari Badan Pengendali Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi dengan nomor: 660.2.1/347/TL&ADL/BPLH.

"Pemenuhan Rekomendasi UKL-UPL, didahului oleh pemaparan dan seminar kepada instansi lingkungan hidup yang berwenang di Kabupaten Bekasi. Dalam pemaparan tersebut kami menguraikan proses bisnis, termasuk limbah dan penanganan limbah saat proses produksi," jelasnya.

Dalam menangani limbah, PT AFI menggunakan jasa pihak ketiga yakni PT.SSK yang telah memiliki perizinan termasuk pengangkutan dan pengelolaan limbah. Setiap limbah yang dibuang, akan diterbitkan manifes untuk dilakukan pengangkutan.

"Kami sampaikan bahwa PT Alpen Food Industri telah mengikuti ketentuan hukum di bidang lingkungan hidup, khususnya mengenai pengelolaan limbah," ujarnya.

Baca Juga: Gara-gara Upah Buruh, Ombudsman Tegur Bupati Karawang

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya