TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Dosen UGM Lulusan Oxford dan Harvard yang Pernah Gagal UN SMA

Kegagalan bukanlah musuh, semoga menginspirasi

Muhammad Rifky Wicaksono (28) Dosen UGM/ugm.ac.id

Jakarta, IDN Times - Muhammad Rifky Wicaksono (28) merupakan salah satu dosen termuda di Fakultas Hukum UGM saat ini. Dia baru saja mendapat gelar Master Hukum di Harvard University dan resmi diwisuda Mei 2021 lalu.

Tidak main-main, Rifky lulus dengan mengantongi dua penghargaan yakni Dean’s Scholar Prize karena mendapatkan nilai tertinggi untuk dua mata kuliah. Dia juga mendapatkan predikat Honors untuk tesisnya yang merumuskan ‘theory of harm’ baru untuk hukum persaingan usaha Indonesia dalam menganalisis merger di pasar digital.

Sebelumnya, Rifky menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar Magister Juris dari University of Oxford pada 2017 melalui beasiswa Jardine Foundation.

Namun, siapa sangka di balik pencapaian akademisnya Rifky pernah gagal Ujian Nasional saat SMA.

Baca Juga: Inspiratif, Dua Pemuda Malang Lolos Seleksi Imam di Uni Emirat Arab

1. Rifky terlena siapkan lomba debat hingga gagal ujian nasional

Ilustrasi (IDN Times/Aan Pranata)

Rifky menceritakan dia pernah gagal Ujian Nasional di SMA karena terlena menyiapkan diri mengikuti lomba debat internasional.

“Gagal UN waktu itu menjadi salah satu titik balik kehidupan saya. Saya belajar bahwa kesuksesan tidak bisa instan dan hanya mengandalkan bakat. Perjuangan kita saat menjalani proses itu ternyata lebih penting,” tuturnya dilansir laman ugm.ac.id, Sabtu (19/6/2021).

Ketidaklulusannya dalam ujian nasional SMA rupanya menjadi peringatan dari Tuhan untuk menyadarkan Rifky dalam memaknai arti kesuksesan. Dia sadar jika bakat dan kecerdasan saja tidak cukup menantarkan kesuksesan.

“Bakat dan kecerdasan tidak cukup menjadikan seseorang sukses kalau tidak diasah. Tetap harus berjuang, bekerja keras, dan berdoa,” tuturnya.

 

2. Rifky belajar dari kegagalan

UGM selenggarakan wisuda daring dan luring. Dok: Humas UGM

Belajar dari kejadian tersebut, menjadikan Rifky berjuang lebih keras. Alhasil, ia bisa masuk FH UGM pada tahun 2010. Selama menjalani studi di FH UGM ia pun berhasil menorehkan prestasi yang mengharumkan nama UGM dengan meraih penghargaan sebagai Mahasiswa Berprestasi  FH UGM 2012.

Selain itu, bersama dengan tim mahasiswa FH UGM ia menjadi juara nasional dan kemudian mewakili Indonesia pada lomba peradilan semu Phillip C Jessup International Law Moot Court Competition. Dia lulus dari FH UGM pada tahun 2014 dengan IPK yang nyaris sempurna yaitu 3,95.

Usai lulus ia diterima bekerja di firma hukum Assegaf Hamzah and Partners. Setelah bekerja selama satu tahun, Rifky memutuskan untuk kembali mengabdikan diri di almamater menjadi asisten dosen karena ia ingin berkontribusi dalam mendidik generasi masa depan FH UGM.

3. Lulus dari Oxford lanjut menempuh pendidikan di Harvard

Online Learning Harvard University

Lalu, di 2016 ia mencoba peruntungan mengikuti seleksi beasiswa Jardine Foundation hingga akhirnya berhasil menamatkan studi S2 di Oxford pada 2017.

Selepas lulus dari Oxford ia menjadi dosen tetap di FH UGM dan pada 2020 memutuskan untuk kembali memperdalam ilmu dengan mendaftar S2 ke Harvard.

Jalan untuk menembus Harvard tidaklah mudah begitupun memperoleh beasiswa, terlebih baginya yang sudah pernah S2. Umumnya bantuan beasiswa hanya diberikan bagi mereka yang belum pernah mengambil studi S2. Namun, kondisi tersebut tidak mematahkan asa Rifky untuk terus berusaha.

Hasil tak pernah mengkhianati usaha. Belajar dari kegagalannya dulu, ia gigih mengejar mimpinya. Akhirnya, ia pun memperoleh beasiswa pendidikan dari Harvard.

“Akhirnya saya bisa kuliah dan lulus dari Harvard, tapi belum pernah menginjakkan kaki di sana. Gelarnya dari Harvard, tetapi kuliah dari rumah di Maguwoharjo Sleman,” tuturnya sembari tertawa.

4. Tantangan kuliah di Harvard

Wikimedia Commons

Situasi saat itu memang dunia dihadapkan dengan pandemik COVID-19. Kondisi tersebut memaksa sebagian besar kampus di dunia menutup kuliah tatap muka dan diganti secara daring, termasuk Harvard.

Suami dari Intan Aisha Humairah Rizquha mengaku ada tantangan tersendiri melakukan perkuliahan secara daring. Hal terberat yang dirasakannya adalah adanya perbedaan waktu yang cukup besar antara Indonesia dengan Amerika Serikat, sekitar 11 sampai 12 jam. Oleh sebab itu, mau tidak mau ia harus menyesuaikan diri mengikuti waktu perkuliahan di Amerika.

“Misal kalau ada jadwal kuliah pagi jam 10, di sini waktunya jam 9 malam dan kalau kuliah sore jam 5 ya disini jam 4 pagi. Ini tantangan yang luar biasa karena harus bergelut dengan perbedaan waktu yang mengubah drastis pola kerja dan tidur,” paparnya.

Selain itu, ia mengatakan beban kuliah di Harvard juga cukup tinggi. Ia mencontohkan, untuk bacaan wajib mahasiswa setiap minggunya sekitar 300 sampai 400 halaman. Namun, pengalaman sebelumnya saat menempuh studi di Oxford sangat membantu.

“Menantangnya kalau sekarang adalah bagaimana menyeimbangkan dengan peran sebagai suami dan ayah, berbeda saat dulu di Oxford masih single,” katanya.

Baca Juga: Kisah Nenek Kusmiati, Bahagia 10 Tahun Tinggal di Panti Jompo

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya