TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Survei Wahana Visi: 76 Persen Guru Khawatir Kembali Sekolah 

Kekhawatiran terbesar guru terjadi penularan COVID-19

Ilustrasi Sekolah di Tengah Pandemik COVID-19. ANTARA FOTO/REUTERS/Athit Perawongmetha

Jakarta, IDN Times - Survei suara guru yang dilakukan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Wahana Visi Indonesia (WVI) menemukan 76 persen guru merasa khawatir kembali ke sekolah di tengah pandemik COVID-19.

"Penelitian singkat ini dilakukan untuk mengetahui persepsi guru dan tenaga kependidikan lainnya terkait situasi sekolah akibat pandemik serta proses menuju pembukaan kembali sekolah dengan skema adaptasi kebiasaan baru," kata Ketua Tim Pendidikan WVI Mega Indrawati melalui siaran pers, Selasa (1/12/2020).

Baca Juga: Selain Anies Baswedan, Ini Pejabat DKI yang Pernah Terpapar COVID-19

1. Survei melibatkan 27.046 guru dan tenaga pendidikan di 34 provinsi

Ilustrasi aktivitas di sekolah. IDN Times/Feny Maulia Agustin

Survei yang dilakukan pada 18 Agustus 2020 hingga 5 September 2020 ini melibatkan responden 27.046 guru dan tenaga kependidikan yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

Sebanyak 95 persen responden berada di daerah non-3T, dan lima persen di daerah 3T. Sebanyak 74 persen responden berasal dari pendidikan umum dan 26 persen dari pendidikan khusus atau sekolah luar biasa. 

2. Kekhawatiran terbesar guru terjadi penularan COVID-19

Penyemprotan disinfektan sekolah-sekolah di Balikpapan (IDN Times/Hilmansyah)

Berdasarkan hasil survei, kekhawatiran terbesar para guru adalah terjadinya penularan COVID-19 pada peserta didik sebanyak 44 persen, dan pada diri sendiri 37 persen.

Kemudian rasa khawatir tidak bisa melakukan proses belajar mengajar dengan nyaman ada 29 persen persen khawatir tidak bisa menjalankan pembelajaran tatap muka dengan efektif 24 persen, hingga khawatir keluarga di rumah tertular COVID-19 sebanyak 23 persen.

3. Anak berkebutuhan khusus rentan tertular COVID-19

Siswa SLB Surya Gemilang mengikuti kelas keterampilan tata rias. IDN Times/Dhana Kencana

Sementara itu, guru pendidikan khusus atau inklusi cenderung lebih merasa khawatir terkait masalah kesehatan, sedangkan guru di daerah terluar, terdepan, tertinggal (3T) relatif lebih khawatir terkait pembelajaran. Hal itu karena anak berkebutuhan khusus lebih sulit melaksanakan protokol kesehatan sehingga rentan tertular COVID-19.

Sebanyak 95 persen responden guru setuju pembelajaran jarak jauh atau kombinasi. Dengan keterbatasan sarana dan prasarana, sebagian besar guru mengusulkan kombinasi antara pembelajaran jarak jauh dan tatap muka sebanyak 45 persen.

4. Dampak penutupan sekolah membuat sekolah 3 T dan SLB perlu keahlian baru

Ilustrasi anak-anak (IDN Times/Dwifantya Aquina)

Survei tersebut menyebutkan 38 persen guru memilih pembelajaran daring sepenuhnya, 12 persen memilih pembelajaran jarak jauh secara luring, dan hanya lima persen yang memilih tatap muka seluruhnya.

Guru di daerah 3T cenderung memilih pembelajaran jarak jauh luring ada 26 persen. Sedangkan guru pendidikan khusus yang lebih khawatir terkait pandemi cenderung memilih pendidikan jarak jauh daring sebanyak 40 persen.

"Dampak penutupan sekolah dialami guru dan peserta didik. Situasi ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas pendidikan karena belajar dari rumah memerlukan keahlian baru, baik oleh peserta didik maupun guru, terutama untuk sekolah luar biasa dan sekolah di daerah 3T," kata Mega.

Baca Juga: Jadi Guru Matematika di Guru-Guru Gokil, 9 Potret Manis Faradina Mufti

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya