Pengalaman Saya Jadi Diaspora Indonesia, Suka Campur Aduk Bahasa
KBRI berperan menyatukan diaspora
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Presiden terpilih periode 2019-2024 Joko “Jokowi” Widodo menyampaikan pidato “Visi Indonesia” pada tanggal 14 Juli 2019. Salah satu tema yang disampaikan berkaitan dengan diaspora, atau orang Indonesia yang berada di luar negeri.
“Diaspora yang bertalenta tinggi harus kita berikan dukungan agar memberikan kontribusi besar bagi percepatan pembangunan Indonesia,” kata Presiden Jokowi.
Dia menambahkan, bahwa pihaknya akan menyiapkan lembaga khusus yang mengurus manajemen talenta ini. “Kita akan mengelola talenta-talenta hebat yang bisa membawa negara ini bersaing secara global,” ujar Pak Jokowi.
Indonesia memiliki populasi terbesar keempat di dunia, sehingga tidak mengherankan negeri kita memiliki diaspora, atau orang yang tinggal perantauan, yang besar juga Diperkirakan bahwa ada sekitar 8 juta WNI yang tinggal di luar negeri.
Banyak WNI yang pindah ke luar negeri sebagai profesor, TKI, pelajar, dan alasan lain-lainnya. Dewi Savitri Wahab, staf ahli Menteri Luar Negeri yang mengurusi soal diaspora memperkirakan 2,9 juta di antara diaspora kita adalah tenaga kerja migran.
“Kita tengah mendata agar angkanya lebih akurat, karena banyak yang tidak melapor juga,” ujar Dewi kepada IDN Times, saat pertemuan dengan Menlu, 8 Juli 2019
Sejak saya lahir, saya telah tinggal di luar Indonesia dan berpindah di 7 negara yang berbeda, yaitu Argentina (Comodoro Rivadavia), Libya (Tripoli), Uni Emirat Arab (Dubai), Brasil (Rio de Janeiro), Rusia (Moskow), Spanyol (Madrid), dan Inggris, tempat saya kuliah saat ini di Edinburg.
Menjadi diaspora membuat saya tidak hanya belajar tentang budaya yang berbeda, tetapi juga berinteraksi masyarakat Indonesia di luar negeri. Inilah beberapa hal yang saya pelajari tentang kecenderungan masyarakat Indonesia di luar negeri:
Baca Juga: Presiden Periode Kedua, Ini Pidato Lengkap Jokowi
1.Kedutaan dan organisasi adalah hal-hal yang mengikat kebersamaan para diaspora
Satu hal yang perlahan-lahan saya pelajari selama bertahun-tahun, adalah bahwa hubungan dinamis antara wilayah diaspora Indonesia berbeda di setiap negara. Misalnya, dari apa yang saya ingat dan dari apa yang keluarga saya ceritakan kepada saya, orang Indonesia di Libya, UEA, Spanyol, dan Inggris, jauh lebih dekat saru sama lain dan memiliki hubungan yang lebih baik daripada orang-orang di Brasil dan Rusia. Masyarakat Indonesia di negara-negara itu cenderung mengadakan lebih banyak kegiatan bersama.
Sebagai contoh, KBRI di Dubai sering mengadakan tur harian dan piknik ke daerah-daerah sekitar dan tempat-tempat wisata bersama. Kedutaan Indonesia di Tripoli, sering mengadakan pengajian dan makan bersama, seperti yang di Madrid. Ini membuat komunitas lebih dekat, dan jadi sering bertemu bersama di luar kegiatan tersebut.
Di Argentina, keluarga kami tinggal di kota kecil yang terpencil bernama Comodoro Rivadavia, sehingga tidak ada konsul umum atau kedutaan besar. Kami hanya mengenal satu keluarga Indonesia lainnya, karena mereka kerja di perusahaan sama dengan ayah saya. Di Rio de Janerio, tidak ada konsul umum atau kedutaan besar, namun ada penduduk Indonesia yang relatif besar di kota itu.
Tidak ada organisasi untuk itu, tetapi ada Kelompok Makan Siang Wanita Asia, yang membuat ibu saya bertemu dengan orang Indonesia lainnya. Di Moskow, sementara ada kedutaan saat kami tinggal di sana, kami jarang mengikuti acara di luar hari-hari penting seperti Idulfitri atau 17 Agustusan.
Di Edinburgh, tidak ada kedutaan, tapi ada sebuah organisasi yang disebut PPI untuk siswa di Edinburgh yang secara teratur bertemu dan mengadakan perjalanan, membawa orang Indonesia lebih dekat bersama.
Editor’s picks
Jadi, hubungan antara diaspora sangat bergantung pada kegiatan kedutaan dan organisasi lain yang berbasis kebangsaan.
Baca Juga: Pernah Dengar Diaspora? Ini 5 Fakta yang Harus Kamu Ketahui!