Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Jakarta, IDN Times - Munculnya nama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam bursa pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Solo, mengingatkan kita kembali pada kejayaan sederet politisi Tanah Air dalam membangun dinasti politiknya.
Membangun dinasti politik sejatinya tidak dilarang. Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melegalkan ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana, maju sebagai kepala daerah. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Lantas, apa yang dimaksud dengan dinasti politik dan dampaknya bagi kehidupan demokrasi di Tanah Air?
Baca Juga: 5 Tokoh yang Sukses Membangun Dinasti Politik di Indonesia
1. Dinasti politik adalah sebuah kekuasaan politik yang masih memiliki hubungan keluarga
instagram.com/@aniyudhoyono Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, mkri.id, Selasa (29/10), politik dinasti atau dinasti politik dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.
Dinasti politik menunjukkan kerabat dekat atau keluarga merupakan alat yang tepat untuk membentuk kekuasaan yang kuat.
Dinasti politik lebih identik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak. Tujuannya tentu agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.
2. Dinasti politik telah lama diterapkan di Indonesia
Menurut Dosen Ilmu Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan (dinasti politik) itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional.
"Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit sistem dalam menimbang prestasi,” kata Ari, di laman mkri.id.
3. Dinasti politik bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan
IDN Times/Margith Juita Damanik Menurut Ari, disebut neopatrimonial karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.”
"Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural,” kata dia.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
4. Dinasti politik menghambat demokrasi di tanah air?
Namun, Ari menambahkan, ada sisi negatif dari dinasti politik. Karena semakin marak praktik ini di berbagai Pilkada dan Pemilu Legislatif, maka proses rekrutmen serta kaderisasi di partai politik tidak berjalan baik.
"Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN,” kata dia.
5. Ada dua faktor penyebab menjamurnya dinasti politik di Indonesia
IDN Times/Irfan Fathurohman Djati dan Wasisto Raharjo dalam bukunya Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik seperti dikutip dalam Arus Lokal The Journal of Political, terdapat dua faktor yang mendasari terbentuknya dinasti politik.
Pertama, macetnya kaderisasi politik dalam menjaring calon pemimpin yang berkualitas, sehingga menciptakan pragmatisme politik, dengan mendorong kalangan sanak keluarga untuk menjabat jabatan publik.
Kedua, adanya kondisi statusquo di suatu wilayah yang menginginkan seorang pemimpin untuk berkuasa, dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat pemimpin tersebut untuk menggantikannya.
Baca Juga: Disebut Bentuk Dinasti Politik, Agus: Jangan Asal Bicara