TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kronologis Kerusuhan Papua yang Menyeret Wilayah Lain

Diduga aparat melakukan intimidasi kepada mahasiswa Papua

ANTARA FOTO/Toyiban/Pras.

Jakarta, IDN Times - Kota Manokwari, Papua Barat, seketika mencekam usai aksi unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan oleh warga pada Senin (19/8) kemarin. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes atas tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepada mahasiswa Papua di Jawa Timur.

Gelombang aksi unjuk rasa semakian liar kala massa mulai membakar sejumlah fasilitas umum seperti Gedung DPRD Papua Barat dan gedung ruang pamer mobil di Manokwari.

Tidak hanya itu, massa juga memblokade sejumlah jalan protokol dan melakukan longmarch di Kota Jayapura, Sorong, dan Marauke yang kemudian berakhir ricuh.

Lalu bagaimana awal mula terjadinya kekerasan kepada mahasiswa Papua tersebut?

Baca Juga: Khofifah: Jatim Siap Jadi Tuan Rumah Pertemuan dengan Gubernur Papua

1. Berawal dari peringatan perjanjian New York di sejumlah wilayah

IDN Times/istimewa

Berdasarkan informasi yang dihimpun IDN Times, kericuhan di Manokwari bermula saat aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa untuk memperingati Perjanjian New York 1962, yang jatuh pada 15 Agustus 2019. Aksi tersebut dilakukan di sejumlah kota di Tanah Air.

Perjanjian New York sendiri adalah sebuah perjanjian yang diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk terjadinya pemindahan kekuasaan atas Papua Barat dari Belanda ke Indonesia.

2. Mahasiswa yang berunjuk rasa diduga tidak mengantongi izin dari aparat

ANTARA FOTO/Novrian Arbi

Aksi unjuk rasa sejumlah mahasiswa asal Papua tersebut rupanya tidak disambut baik oleh aparat karena tidak mengantongi izin, seperti di Jayapura, Sentani, Malang, Ternate, Ambon, Sula, dan Bandung. Hanya di Jakarta dan Yogyakarta saja aksi unjuk rasa berlangsung tertib.

3. Mahasiswa Papua di Surabaya diduga mendapatkan intimidasi

IDN Times/Prayugo Utomo

Sehari usai aksi tersebut atau tepatnya Jumat (16/8), asrama mahasiswa Papua di Surabaya didatangi aparat bersama organisasi massa (ormas) yang hingga kini belum diketahui identitasnya. Alasannya, mereka diduga merusak bendera Merah Putih di depan asrama.

Di sana, sejumlah aparat dan anggota ormas diduga melakukan intimidasi dengan melontarkan kalimat bernada rasis, hingga adanya pengusiran 43 mahasiswa asal Papua yang digiring ke kantor polisi.

Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol. Frans Barung Mangera, membantah tudingan rasis yang dilakukan aparat kepolisian terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

"Tidak ada sama sekali penindasan kepada mereka seperti beredar kabar bahwa ada rasisme kepada mahasiswa Papua," kata Frans Barung Mangera di RS Bhayangkara, Surabaya, Senin (19/8).

Barung mengatakan, isu perlakuan rasis terhadap mahasiswa bermula saat asrama mahasiswa Papua (AMP) di Surabaya digeruduk oleh organisasi kepemudaan yang geram karena ada kabar perusakan bendera Merah Putih pada 16-17 Agustus.

Saat itu 43 mahasiswa asal Papua sempat dibawa ke Mapolrestabes Surabaya. Namun, Frans Barung Mangera mengatakan, ke-43 mahasiswa tersebut bukan ditangkap, melainkan hanya diamankan.

"Kami tegaskan tidak ada penahanan, tidak ada penangkapan yang ada kita mengamankan 43 mahasiswa tersebut. Dikarenakan situasi kondisi yang mana masyarakat dan beberapa OKP ormas akan masuk ke dalam. Kalau tidak diamankan, akibatnya justru terjadi masyarakat dengan mahasiswa," kata Barung.

Selanjutnya, karena tidak terbukti memenuhi unsur pidana, ke-43 mahasiswa asal Papua tersebut dikembalikan lagi ke asrama.

Baca Juga: Papua Rusuh, Jokowi: Pace, Mace, Mama-mama Harus Saling Memaafkan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya