TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tipping Fee Kelola Sampah Disorot KPK, Luhut: Itu Cost Kebersihan!

Luhut bilang pengelolaan sampah tidak merugikan negara, kok!

Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (kanan) berbincang dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat menghadiri Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020) (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, menceritakan pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah yang beberapa bulan lalu mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran tipping fee.

Untuk kamu ketahui, tipping fee adalah biaya yang dikeluarkan anggaran pemerintah kepada pengelola sampah.

"Orang banyak kritik kita soal sampah, katanya bisa merugikan negara dari teman kita dari KPK. Tipping fee jadi masalah. Lah itu cost kebersihan. Ini harus dipahami," kata Luhut dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube, Selasa (21/7/2020).

Baca Juga: Kena! Luhut dan Menteri Lain Disemprot Jokowi Karena Masalah Sampah

1. Pengelolaan sampah tidak bisa menguntungkan

IDN Times / Larasati Rey

Luhut melanjutkan bahwa pengelolaan sampah tidak bisa serta merta disebut menguntungkan karena termasuk kegiatan menjaga lingkungan. Menurutnya langkah pemerintah memproduksi pengolahan sampah dengan sistem refuse derived fuel (RDF) di Cilacap, Jawa Tengah ini patut diapresiasi.

"Tidak bisa dibikin pembersihan sampah serta merta menguntungkan. Jadi RDF ini langkah yang hebat," katanya.

2. Sempat disorot KPK pada bulan Maret lalu

(Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron) ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Pada 6 Maret 2020, KPK memaparkan hasil kajian sektor kelistrikan, yakni pengelolaan sampah untuk Energi Listrik Terbarukan (EBT). Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan bahwa KPK menemukan permasalahan sektor kelistrikan di dua aspek, yakni model bisnis dan basis teknologi.

KPK menyoroti tipping fee yang dinilai memberatkan Pemda. KPK mengatakan artinya biaya mengumpulkan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah dianggap memberatkan daerah atau anggaran APBD. Kedua, tarif beli listrik memberatkan PLN karena menggunakan model "take or pay".

"Berapa pun sampah didapat, dibayar sesuai perjanjian. Kondisinya, jumlah sampah tidak sesuai target kuota sampah. Jadi, kalau sampah tidak sesuai jumlah yang diharapkan tetap dibayar dengan harga standar, sebaliknya juga ketika sudah menjadi listrik, listriknya tidak sesuai yang diperjanjikan standar dan tegangannya kurang tetap dibayar. Kondisi ini hanya menguntungkan pengusaha," kata Ghufron seperti dilansir Antara.

Ia mengatakan jika PLTSa itu dijalankan, maka pemerintah perlu memikirkan beban anggaran sekitar Rp3,6 triliun.

Baca Juga: Olah Sampah Jadi Energi Terbarukan, Menko Marves Resmikan Fasilitas RDF

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya