TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Alasan Mengapa Harga Rokok Harus Mahal

Harga dan cukai rokok harus ditingkatkan

ilustrasi rokok (pixabay.com/klimkin)

Jakarta, IDN Times - Secara medis, rokok sudah terbukti memberi dampak buruk bagi kesehatan. Sejumlah kalangan pun mendorong agar harga rokok dibuat sangat mahal, seperti yang dipraktikkan di beberapa negara maju.

Salah satu lembaga mendorong kenaikan harga rokok adalah Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI). Planning and Policy Specialist CISDI Yurdhina Meilissa menjelaskan, cukai rokok memang membuat harga rokok naik hingga 44,87 persen.

"Namun, ketika indikator keterjangkauan membaik, konsumsi rokok secara agregat justru naik 14,5 persen," ujar Meilissa dalam keterangan tertulis, Rabu (8/8). Ini artinya, orang tetap akan kembali mencari rokok ketika keuangannya membaik.

1. Perokok anak terus meningkat

IDN Times/Sukma Shakti

Meilissa juga menguak fakta miris di tengah masyarakat akibat harga rokok yang murah dan terjangkau, yaitu kian mudanya perokok zaman sekarang.

Menurut dia, harga rokok yang murah dan struktur cukai multi-tier yang memberi banyak ruang untuk downtrading dan substitusi menjadikan jumlah perokok anak usia di bawah 18 tahun terus meningkat. "Capaian ini semakin menjauh dari target RPJMN sebesar 5,4 persen yang tenggatnya tahun depan," kata Meilissa. RPJMN adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Baca Juga: Berantas Rokok Ilegal, Menkeu Sebut Cukai Rp1,5 triliun Terselamatkan

2. Rokok, penyakit katastropik, dan beban JKN

Ilustrasi rumah sakit (Pixabay)

Saat ini, beban Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kian berat akibat tingginya penyakit terdampak rokok -yang juga termasuk kategori penyakit katastropik- seperti gagal ginjal, penyakit jantung dan kanker. Penyakit-penyakit itu menyerap klaim kesehatan yang tinggi.

Hal ini diperburuk fakta bahwa belanja kesehatan di Indonesia hanya 3,6 persen dari PDB dan iuran rata-rata peserta JKN hanya seperempat dari rata-rata kebutuhan belanja kesehatan penduduk.

Hal tersebut, menurut Meilissa, menyebabkan defisit JKN sejak awal program ini diluncurkan, yaitu Rp3,3 triliun (2014), Rp5,7 triliun (2015), dan Rp9,7 triliun (2016).

Baca Juga: Hutan di Gili Lawa Terbakar Diduga Bersumber dari Puntung Rokok

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya