TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kekerasan di Ranah Privat Dominan Dilaporkan, KDRT Tertinggi 

Perkosaan dalam perkawinan mencapai 195 kasus

Ilustrasi pemerkosaan. IDN Times/Sukma Shakti

Jakarta, IDN Times - Kekerasan di ranah privat masih menjadi kasus paling dominan dilaporkan. Kasus tertinggi dilaporkan adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan dalam Pacaran (KDP), dan Inses (hubungan sedarah). Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, pelaporan kasus marital rape atau perkosaan dalam perkawinan meningkat pada 2018.

"Hubungan seksual dengan cara yang tidak diinginkan dan menyebabkan penderitaan terhadap istri ini mencapai 195 kasus," ujar Yuniyanti dalam peluncuran Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (Catahu) 2018 di Jakarta, Rabu (6/3).

Baca Juga: Miris! Kekerasan dalam Pacaran ada Ribuan Kasus Sepanjang 2018

1. Hanya tiga persen kasus KDRT yang dilaporkan ke lembaga layanan

IDN Times/Sukma Shakti

Yuniyanti menjelaskan sebanyak 138 kasus perkosaan dalam perkawinan dilaporkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta P2TP2A. Selebihnya, dilaporkan ke organisasi masyarakat dan lembaga lainnya.

Menurut dia, meningkatnya pelaporan kasus perkosaan dalam perkawinan mengindikasikan implementasi UU Penghapusan KDRT (UU P-KDRT) masih memiliki sejumlah persoalan, seperti pencegahan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga dan penanganan KDRT.

"Meski UU P-KDRT telah 14 tahun diberlakukan, namun hanya tiga persen dari kasus KDRT yang dilaporkan ke lembaga layanan yang sampai ke pengadilan," ungkap dia.

2. Kekerasan inses dan marital rape sulit diungkapkan karena relasi keluarga

IDN Times/Sukma Shakti

Menurut Yuniyanti, kasus kekerasan inses dan marital rape sulit diungkapkan, sebab terjadi dalam relasi keluarga. Apalagi korban diwajibkan untuk patuh, berbakti, dan tidak membuka aib keluarga.

Oleh sebab itu, pengungkapan kasus inses dan marital rape perlu ditindaklanjuti dengan penyediaan mekanisme pemulihan yang komprehensif dan berpihak kepada korban.

"Serta penghukuman pelaku yang berorientasi pada perubahan perilaku, sehingga tidak mengulangi lagi kejahatan yang pernah dilakukannya," kata Yuniyanti.

3. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak disahkan

Doc. IDN Times

Karena itu, Yuniyanti mengimbau, pemerintah dan DPR RI segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Hal itu untuk menghentikan impunitas bagi pelaku kekerasan seksual dan membuka akses korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan atas ketidakberulangan.

"Termasuk menyetarakan posisi perempuan di depan hukum untuk mendapatkan perlindungan sepenuhnya atas tindakan pelanggaran hukum yang berbasis gender," kata dia.

4. Dibutuhkan peran aparat penegak hukum dan tokoh masyarakat

Kementerian PP dan PA

Selain itu, aparat penegak hukum perlu mengoptimalkan penggunaan UU PKDRT, Undang Undang Perlindungan Anak, dan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama yang rentan menempatkan perempuan sebagai pelanggar hukum.

Tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, dan tokoh adat diharapkan meningkatkan edukasi masyarakat agar kebiasaan, praktik dan budaya yang mendiskriminasi perempuan dapat diminimalkan.

"Kemudian, masyarakat juga harus fokus pada perlindungan korban yang menjadi tanggung jawab pemerintah dengan pelibatan korban, keluarga, masyarakat,dan korporasi, sehingga tidak mereviktimisasi perempuan korban berkelanjutan," kata dia.

Baca Juga: Ini Beban yang Dipikul Kedua Cawapres saat Debat Pilpres Ketiga

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya