TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Obat Kanker Usus Tak Lagi Dijamin JKN, Apa Akibatnya? 

Kualitas hidup penderita kanker usus akan menurun

IDN Times/Indiana Malia

Jakarta, IDN Times - Obat kanker kolorektal (kanker usus) tak lagi dijamin pemerintah per 1 Maret 2019. Hal itu tertera dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/707/2018 (merevisi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017).

Dalam surat keputusan tersebut, tertulis obat bevacizumab dikeluarkan dari formularium nasional (fornas). Sementara, obat cetuximab hanya diberikan sebagai terapi lini kedua kanker kepala dan leher jenis squamous dan dikombinasi dengan kemoterapi atau radiasi.

Lalu, apa akibatnya jika obat kanker usus tersebut tak lagi masuk dalam skema pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?

Baca Juga: Ini Jawaban BPJS Kesehatan Setelah Obat Kanker Dicoret dari Fornas

1. Kualitas hidup penderita kanker usus akan menurun

https://vdocuments.site/anatomi-appendix-56af330667e1d.html

Sekjen Perhimpunan Dokter Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) A Hamid Rochanan mengatakan, kualitas hidup penderita kanker usus akan menurun akibat dicabutnya obat dari fornas. Obat kanker tersebut sangat dibutuhkan, khususnya bagi pasien stadium lanjut.

"Kalau si pasien butuh layanan terapi target tapi gak diberikan, dia akan sakit-sakitan. Sel kanker gak ada yang menekan. Pemerintah harus punya solusi, apakah ada penambahan iuran BPJS, atau siapa tahu yang sakit punya asuransi ganda jadi bisa dicover sama asuransi lain. Ini belum ada solusi," kata Hamid di Jakarta, Kamis (21/2).

2. Pemerintah diminta mengatur efektivitas penggunaan obat

bpjs-kesehatan.go.id

Menurut dia, obat kanker bevacizumab tak perlu dikeluarkan dari fornas. Pemerintah cukup mengatur efektivitas penggunaannya. Sebab, penanganan kanker usus terbilang mahal, namun belum efektif. Terapi target pada dasarnya diindikasikan pada penderita kanker usus stadium empat.

"Yang tidak membutuhkannya 10 persen sembuh total. Kemudian yang 60 persen, kalau diberikan target terapi dan kemoterapi tidak ada benefitnya. Sehingga, kalau mau berpikir dengan benar, 70 persen tidak membutuhkan terapi target. Jadi yang dipikirkan sekarang 30 persen dari kanker usus," jelasnya.

Dari 30 persen itu, kata Hamid, jika dilihat lebih dalam lagi berada di tumor kolon kanan atau kiri. Pasien yang punya benefit diberikan kemoterapi terapi target adalah penderita tumor kolon kiri.

"Jadi pemerintah tidak perlu menghapus. Cukup merestriksi karena yang dipikirkan hanya 15-30 persen saja. Jadi tidak sebanyak yang digembor-gemborkan," kata dia.

3. Pemerintah dinilai kerap salah sasaran

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Hamid mengatakan, pemerintah kerap salah sasaran dalam menginstruksikan penanganan pasien kanker usus. Selama ini pasien sering menjalani terapi target bukan atas rekomendasi dokter spesialis di bidangnya, yakni dokter bedah digestif.

Padahal, lanjut Hamid, ada hitungan tertentu untuk memutuskan pasien menjalani kemoterapi dan terapi target. Misalnya, pasien tergolong stadium empat grup 1 atau 2, kemudian dihitung berdasarkan jumlah tumor, node, dan metastatis.

"Jadi yang memberikan obat kemoterapi pada stadium empat sampai detik ini kurang selektif. Kriteria pasien stadium empat yang ikut grup 0,1,2,3 itu yang tahu adalah dokter bedah digestif. Misalnya stadium 4 grup 0, mereka tidak perlu diberi kemoterapi. Kalau yang tidak punya ilmu justru diberi, ini yang menimbulkan pemborosan (anggaran)," jelasnya.

Baca Juga: Pasien Kanker Usus Tidak Akan Ditanggung BPJS Lagi Mulai 1 Maret 2019

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya