TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perdagangan Anak Berkedok Magang, 600 Orang Jadi Korban

Banyak korban berasal dari NTT

Ilustrasi oleh Rappler

Jakarta, IDN Times - Perdagangan anak berkedok magang kini menjadi modus baru dalam mengeksploitasi anak-anak. Tak hanya ruang publik, eksploitasi juga dilakukan di ruang privat yang tak terdeteksi aparat Kepolisian. Dunia pendidikan pun kembali 'kecolongan'.

Baca juga: Lembaga HAM Dunia Sebut Ada Perdagangan Manusia di Kapal Nelayan Thailand

1. 600 orang jadi korban

Ilustrasi oleh Rappler Indonesia

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), data sementara korban berjumlah 600 anak di Jawa Tengah dan kiriman dari NTT sejak tahun 2009. Sementara itu, data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah menyebutkan saat ini jumlah korban mencapai 138 orang, terdiri dari 86 korban dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Jawa Timur, sedangkan 52 korban dari SMK Kendal yang kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Semarang. 

"Pelaku program magang palsu kini sudah menjadi terdakwa, yakni Windy selaku Direktur PT Sofia yang bekerja sama dengan PT Walet Maxim Birdnest milik Albert Tei di Selangor, Malaysia," ungkap Komisioner bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak Ai Maryati Solihah di Kantor KPAI Jakarta, Selasa (3/4).

Seperti diketahui, modus perdagangan manusia melalui magang oleh PT Sofia telah berlangsung sejak 2009, namun baru terkuak. 

2. Korban menggunakan visa kunjungan

IDN Times/Sukma Shakti

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menambahkan, diduga sindikat yang beropersi di SMK NTT bisa dengan mudah mengelabui pihak sekolah. Para siswa yang tertipu dan berangkat 'magang' menggunakan paspor visa kunjungan, bukan visa kerja. Mereka diiming-imingi sebuah kebanggaan seperti "Alumni kalau magang ke luar negeri". 

"Anak-anak yang magang biasanya masih berusia 17 tahun atau masih kelas 11 SMK, karena yang kelas 12 fokus ujian," kata Retno.

Dalam beberapa kasus, lanjut Retno, tidak ada perjanjian awal sebelum resmi diberangkatkan ke luar negeri. Selain itu, banyak yang 'magang' tidak sesuai pendidikan yang ditempuh, misalnya sekolah di jurusan elektro listrik, tetapi ditempatkan di kapal. Anak-anak korban penipuan tersebut juga dieksploitasi dengan bekerja selama 18 jam sehari. 

"Istirahatnya sangat sedikit. Visa kunjungan juga tak terpantau KBRI dan Kemenlu," kata Retno.

Baca juga: Polrestabes Surabaya Ungkap Perdagangan Manusia Lewat Facebook

 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya