TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Semangat Seorang Pramugari Menggapai Mimpi dan Melawan Tuberkulosis

Tiwi tidak percaya menderita penyakit mematikan itu

IDN Times/Irfan Fathurohman

Depok, IDN Times - Segelas cappuccino hangat dalam genggamannya. Jari-jarinya erat menggenggam gelas putih itu hingga lupa meneguknya. Perempuan itu masih asik bercerita saat-saat dalam kabin pesawat, dari penerbangan domestik hingga internasional.

Perempuan itu bernama Pratiwi Hidayat, pramugari yang sedang mengenang kisah hidupnya menuju seorang flight attendant di beberapa maskapai ternama. Pagi itu adalah hari sebelum Pratiwi terbang ke Negeri Sahara.

Baca juga: Penantian Dania untuk si Bayi Tabung

1. Ditolak maskapai karena tinggi badan

IDN Times/Irfan Fathurohman

Tiwi, begitu panggilan akrabnya, adalah perempuan kelahiran Yogyakarta dan besar di Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak SMA ia sudah bercita-cita menjadi seorang pramugari. Mimpi itu berawal ketika ia melihat seorang pramugari yang sedang turun dari pesawat di sebuah anjungan bandara di Yogyakarta.

"Dulu mungkin terkesan ‘ndeso' banget, pesawat saja kok dilihat. Ya maklum lah, karena waktu itu aku belum pernah naik pesawat. Tiba-tiba pandanganku teralihkan pada sosok pramugari yang sedang turun dari pesawat. Cantik, anggun, menarik, sejak itu aku menyadari apa keinginanku. Ya, suatu saat nanti aku ingin menjadi pramugari,” tutur dia di sebuah cafe dekat Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, Jumat, 30 Maret lalu.

Tiwi adalah perempuan yang memiliki prinsip hidup. Bahwa menjadi seorang perempuan itu harus memiliki nilai, karena wanita tidak boleh bergantung pada lelaki. Prinsip itulah yang mengantarkan Tiwi pada karier cemerlang saat ini. 

Bermimpi bagi Tiwi adalah sebuah hak setiap orang. Namun, ia sempat terhalang untuk menggapai mimpi sebagai pramugari. Selain merasa sebagai orang kampung, Tiwi hanya memiliki tinggi badan 159 cm.

“Aku dulu pernah ditolak salah satu maskapai karena tinggi badanku, tapi aku terus mencoba walau pun dua kali aku ditolak karena tinggi badan. Alhasil, alhamdulillah pada akhirnya aku diterima di salah satu maskapai sebagai pramugari. Asal kita mau bermimpi, yakin, mencoba, dan berusaha, Tuhan pasti kasih jalan,” ucap dia.

Menurut Tiwi, menjadi seorang pramugari tidak harus berparas ayu, tinggi, dan memiliki kulit putih. Perempuan berkulit hitam, rambut ikal, justru akan lebih menarik dan dilirik internasional airlines. Tentunya fisik diimbangi dengan mengetahuan yang luas dan cakap berbahasa asing.

2. Melawan penyakit Tuberkulosis

IDN Times/Irfan Fathurohman

Tepat pada 27 Januari 2007, Tiwi diterima sebagai pramugari di maskapai Lion Air. Setelah menjadi pramugari, Tiwi pun tahu, rupanya banyak maskapai domestik atau internasional yang menggunakan standar pramugari dengan tinggi jangkauan tangan 250 cm, atau setara dengan 158 cm tinggi badan.

Namun, setelah empat tahun menggeluti profesi sebagai pramugari, Tiwi memutuskan pensiun, dengan alasan ia ingin berkeluarga. India menjadi penerbangan terakhir sebelum ia mengakhiri pekerjaan ini.

Tapi sepulang dari negeri Bollywood itu, Tiwi mengalami batuk terus menerus, berat badan turun drastis, hingga membuatnya heran dan lekas ke dokter.

“Setelah aku diperiksa, dokter langsung nanya penerbangan terakhirku, terus aku jawab India. Tanpa basa-basi, dokter itu bilang kalau aku kena Tuberkulosis atau TBC. Seketika aku berpikir, tamat lah karierku,” kenang Tiwi.

Tiwi tidak percaya menderita penyakit mematikan itu. Pengobatan ke dokter menjadi kegiatan rutin Tiwi selama enam bulan. Dalam masa pengobatan ini ia tidak bekerja. Pada 2009 Tiwi juga gagal bergabung bersama maskapai kebanggan Indonesia, lantaran penyakitnya itu.

Selama melawan TBC di tubuhnya, Tiwi mengisi waktu luangnya sebagai seorang entrepreneur dengan membuka usaha. Ia akhirnya berhasil sembuh dan kembali melamar menjadi pramugari haji pada awal 2012.

“Benar janji Allah, tubuhku yang selalu nyaman dengan pekerjaan sebagai pramugari mulai membiasakn diri. Status 'pengangguran terbang' bukan lagi soal. Otakku mulai berpikir tentang peluang, keinginan belajar tumbuh menjadi pribadi lebih baik,” ucap Tiwi mulai menyeruput cappuccino yang lama ia genggam.

3. Menghadapi paradigma yang keliru di masyarakat

IDN Times/Irfan Fathurohman

Menjadi seorang pramugari bagi Tiwi tidak lah mudah. Bersikap tegas dibilang jutek, sering senyum dibilang centil, bersikap ramah dibilang mental pembantu, membantu membawakan barang penumpang dibilang kuli. Pramugari juga kerap dipandang negatif, sebagai profesi yang pengumbar syahwat belaka.

“Aku pun mengalami stigma sosial itu. Betapa butuh waktu lama meyakinkan kedua orangtuaku untuk mengizinkan impianku menjadi seorang pramugari,” ucap ibu dua anak itu.

Namun, Tiwi berusaha melawan paradigma itu. Karena menjadi seorang pramugari harus melewati seleksi ketat. Pramugari adalah mata dan telinga pilot, melayani serta memastikan penumpangnya selamat hingga tujuan. 

“Pesawat itu ibarat rumah, panel-panelnya pun ibarat saklar lampu di sebuah rumah. Ketika konslet kita harus apa. Kalau kebakaran, pintu mana sih yang harus aku buka, dan dalam keadaan darurat aku harus mengeluarkan penumpang dengan waktu 60 detik, karena menurut penelitian, lebih dari satu menit pesawat akan meledak,” kata dia.

Menurut Tiwi paradigma yang menyebut profesi pramugari hanya melayani adalah keliru. Menurutnya pramugari adalah profesi yang mulia, karena harus menjamin keselamatan penumpangnya dibandingkan keselamatan dirinya sendiri.

4. Tiwi ingin perempuan Indonesia memiliki nilai

IDN Times/Irfan Fathurohman

Selain menjadi pramugari, Tiwi juga menjadi novelis non-fiksi. Ia menulis novel berdasarkan cerita pengalaman-pengalamannya, untuk memotivasi perempuan Indonesia agar menjadi wanita yang memiliki nilai.

Tiwi sudah menelurkan dua karyanya. Novel pertama berjudul Cabin Notes, dan kedua Fast. Karya terbarunya yang berjudul Remain Over Night juga terbit bulan ini. Selain itu, Tiwi juga sering mengisi workshop kecantikan dan menjadi guru Bahasa Inggris.

“Aku sih pengen ngajak ke perempuan Indonesia bahwa menjadi wanita itu harus memiliki nilai dan tahu nilainya. Karena aku banyak ketemu perempuan yang gak menyadari potensi dalam dirinya. Ada yang cantik banget, tapi dia tidak melihat itu untuk ke arah yang positif, ada yang pintar banget tapi juga gak menghargai potensinya. Menurutku kalau kita niat dan belajar kita pasti bisa. Jangan takut mencoba sesuatu yang baru,” kata dia.

Menurut Tiwi semakin perempuan tahu potensi yang dimiliki, semakin dia menghargai kelebihannya dan semakin pula dihargai lelaki. Daya 'jual' sebagai perempuan akan tinggi, bukan fisik yang bertahan sementara.

"Jadi perempuan juga tidak boleh bergantung pada lelaki, harus mandiri,” ujar perempuan 36 tahun itu.

Baca juga: Muslihah, Perempuan Baja di Pelosok Jawa

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya