Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Depok, IDN Times - Festival Hadhrami yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, dan mengangkat tema Merayakan Keragaman Etnis Keturunan Hadhramaut di Indonesia, turut dimeriahkan dengan dramatic reading 'Fatimah' oleh Teater Koma.
1. Penampilan Teater Koma sukses membius hadirin
IDN Times/Irfan Fathurohman Festival Hadhrami pada hari pertama ini dimanjakan dengan penampilan anggota Teater Koma yakni Ratna Riantiarno, Budi Ros, Adri Prasetyo, dan Sir Ilham Jambak. Disutradarai Rangga Riantiarno, Teater Koma sukses membius hadirin.
Lengkap dengan pakaian hitam, pembaca drama membawakan cerita Fatimah karya Hosein Bafagih (1938), di Auditorium Gedung 9 FIB-UI.
Pemain Teater Koma bergantian membacakan petikan drama dari cerita Fatimah. Dalam cerita ini, digambarkan bagaimana kaum perempuan tertindas.
“Cerita ini memang menggambarkan bagaimana tertindasnya perempuan. Tapi memang di naskah ini Fatimah tidak muncul, seolah-olah sudah mati aja, gitu,” tutur pendiri Teater Koma, Ratna Riantiarno yang juga ikut membacakan naskah drama.
Baca juga: Tiga Tokoh Hadhrami Ini Ikut Merintis Kemerdekaan Indonesia
2. Ratna mengaku sempat kesulitan membaca buku Fatimah
IDN Times/Irfan Fathurohman Ratna mengaku sempat kesulitan membaca buku Fatimah, karena menggunakan bahasa Melayu. Namun, menurutnya, ini merupakan tantangan bagi Teater Koma, bagaimana memberi pemahaman bagi penonton.
“Itu kan bahasa lama, gak mudah membaca dan memainkan, apalagi kalau dibaca sama ‘zaman now’ tapi kita coba beri pemahaman,” kata dia.
3. Ada autokritik di dalam buku Fatimah
IDN Times/Irfan Fathurohman Hoesin Bafagih, penulis Fatimah, adalah seorang wartawan yang hidup pada 1900-an sampai 1958, sangat dikenal di kalangan keturunan Arab di masa akhir pemerintahan Kolonial Belanda.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Hoesin mendedikasikan dirinya untuk kesetaraan hak bagi keturunan Arab dan integrasi komunitas Arab ke dalam masyarakat Indonesia.
Bagi Ratna, cerita Fatimah mencerminkan bagaimana Hoesin membangun cerita yang mengandung kritik dari situasi dulu.
“Itu di dalamnya (buku) ada autokritik dari pada keadaan dan situasi dulu, bagaimana sifat buruk dibela-belain, dan kami menilai situasi itu jalan di tempat, gak beda jauh sama zaman sekarang,” kata Ratna.
4. Buku Fatimah masih relevan dengan kondisi sekarang
IDN Times/Irfan Fathurohman Walaupun buku Fatimah berusia 80 tahun, menurut pendiri Yayasan Lontar John McGlynn masih relevan dinikmati pembaca saat ini.
“Buku ini memang berusia 80 tahun, tapi masih relevan dan segar untuk dinikmati oleh pembaca,” kata John dalam peluncuran buku Fatimah yang diterjemahkan Mary Zurbuchen.
Baca juga: Yuk! Mengenal Sejarah Masuk Hadhrami ke Indonesia