TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

CISDI Soroti Absennya Perspektif Kesehatan dan Gender di RKUHP

Kerentanan perkawinan anak dan meningkatnya korban kekerasan

Mahasiswa dari beberapa Universitas melakukan Demo terkait RKUHP di depan Gedung DPR/MPR pada Selasa (28/6/2022). (IDN Times/Yosafat)

Jakarta, IDN Times - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai pemerintah belum memasukkan perspektif kesehatan dan gender dalam proses penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini nampak dari ditemukannya beberapa pasal bermasalah.

“Tidak diperhatikannya perspektif kesehatan dan gender berpotensi menyebabkan kerentanan baru bagi beberapa kelompok,” kata Direktur Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda, dalam Webinar, qPolicy Brief CISDI: Perspektif Kesehatan dan Gender dalam Penyusunan RKUHP, Jumat (19/8/2022).

1. Risiko kontraproduktif pada peningkatkan capaian kesehatan seksual

Webinar Peluncuran Policy Brief CISDI: Perspektif Kesehatan dan Gender dalam Penyusunan RKUHP (YouTube/CISDI Channel)

Olivia menyebutkan bahwa CISDI menilai ada beberapa pasal dan ketentuan cenderung kontraproduktif dengan upaya peningkatan capaian kesehatan dan perlindungan kelompok rentan. Pertama, risiko kontraproduktif terhadap peningkatkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi.

Dalam Pasal 412 RKUHP ada aturan soal melarang orang “mempertunjukkan”, “menawarkan”, “menyiarkan tulisan”, dan “menunjukkan” alat pencegah kehamilan kepada anak. Sementara, dalam pasal 414 ayat 1 disebutkan hanya petugas berwenang atau relawan yang ditunjuk pejabat berwenang yang boleh promosikan kesehatan reproduksi dengan alasan pendidikan dan penyuluhan kesehatan. Hal ini dinilai bisa menyulitkan anak dan remaja dapat edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang utuh.

“Padahal, persoalan kesehatan reproduksi bersifat multidimensional, termasuk adanya keterbatasan tenaga dan layanan. Dalam masalah kehamilan remaja diperlukan bantuan banyak pihak untuk memberikan edukasi bagi anak dan remaja. Selain itu, pendidikan kespro dari teman sebaya juga terbukti efektif untuk edukasi kesehatan seksual dan reproduksi,” katanya.

2. Beresiko juga pada peningkatan praktik perkawinan anak

Ilustrasi anak-anak (IDN Times/Besse Fadhilah)

Kemudian adalah risiko meningkatnya kerentanan korban kekerasan seksual dan praktik perkawinan anak. Dalam Pasal 415 tentang perzinahan dan pasal 416 mengenai kohabitasi atau istilah yang dikenal kumpul kebo dinilai berpotensi membuat korban kekerasan rentan dilaporkan atau diadukan. Olivia menjelaskan, dalam ketentuan pasal 415, misalnya, menyatakan setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan yang bukan suami atau istri bisa dipidana.

“Padahal data 129 lembaga layanan menunjukkan kasus pemerkosaan merupakan kekerasan seksual yang paling dominan terjadi di dalam ranah relasi personal 25 persen,” ujar dia.

Olivia berpendapat, banyaknya kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual dilakukan orang dari relasi dekat, dan berpotensi menempatkan korban di posisi sulit dan rentan dilaporkan dengan pasal perzinahan atau kohabitasi.

Baca Juga: Dewan Pers Serahkan DIM RKUHP ke Komisi III DPR 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya