TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hari Internasional Penghapusan Perbudakan, Begini Kondisi di Indonesia

Kasus perbudakan manusia di provinsi NTT terburuk di RI

Teatrikal KontraS Sumut memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh pada Sabtu (26/6/2021). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Jakarta, IDN Times - Hari Internasional Penghapusan Perbudakan diperingati setiap 2 Desember. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan Indonesia masih harus membenahi diri guna menguatkan upaya penghapusan perbudakan modern.

"Perdagangan perempuan, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan dan eksploitasi tenaga kerja adalah bagian dari perbudakan modern yang dimaksud," ujar Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangannya, Jumat (3/12/2021).

Baca Juga: Pemerintah Laporkan Dugaan Perbudakan ABK WNI ke Dewan HAM PBB

1. NTT jadi Provinsi dengan kasus perdagangan perempuan terburuk

GERAK Perempuan lakukan aksi di Monas untuk memeringati hari International Women’s Day, di halaman Monas, Minggu (8/3) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Komnas Perempuan selama 2015-2020 mencatat ada 1.382 kasus perdagangan perempuan, sebanyak 49 di antaranya langsung masuk ke Komnas Perempuan. Pada 2020, kasus perdagangan perempuan meningkat sebesar 20 persen, hal ini dilaporkan oleh mitra Komnas Perempuan yakni dari 212 jadi 255 kasus.

"Nusa Tenggara Timur mencatat kasus-kasus terburuk perdagangan orang yang berakhir dengan kematian, baik terhadap perempuan juga laki-laki. Implementasi dari UU 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang masih sangat terbatas, pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Buruh Migran Indonesia juga masih belum optimal dalam menutup celah perdagangan orang dengan menggunakan celah penempatan tenaga kerja," kata Andy.

2. Perbudakan seksual oleh suami atau keluarga

Ilustrasi Perdagangan Perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)

Komnas Perempuan juga mencatat 17 kasus perbudakan seksual, pada kurun waktu yang sama, yang sebagian besarnya dilakukan oleh suami dan anggota keluarga suami. Andy mengungkapkan ada juga kasus perbudakan seksual yang dilakukan oleh teman dan orang yang tidak dikenal oleh korban.

Di dalam tindakan ini, korban disekap atau dibuat tergantung sehingga tidak dapat melepaskan dirinya, termasuk dengan menggunakan jerat utang ataupun pengaruh obat-obatan, dan dimaksudkan untuk secara terus-menerus digunakan untuk melayani kebutuhan seksual pelaku.

Dia mengatakan, kasus serupa ini tidak dapat hanya diproses dengan pasal tentang perkosaan. Sayangnya, persoalan perbudakan seksual hanya ditemukan dalam UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dimana perlu terpenuhi unsur sistematis atau meluas.

"Penguatan payung hukum melalui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual diharapkan dapat memberikan penguatan pada akses keadilan, sekaligus pemulihan bagi korban," kata Andy.

3. Perkawinan anak dan risiko kekerasan

Ilustrasi anak-anak (IDN Times/Besse Fadhilah)

Komnas Perempuan mencatat pula 7 kasus pemaksaan perkawinan, termasuk kasus perkawinan anak, dan kasus kawin tangkap, yaitu perkawinan yang didahului dengan perampasan kemerdekaan perempuan.

Perkawinan anak, terutama dengan motif ekonomi dan merujuk pada relasi timpang antara pihak suami dengan keluarga dari pihak anak merupakan bentuk lain dari pemaksaan perkawinan.

"Pemaksaan perkawinan akan merisikokan (anak) perempuan mengalami kekerasan seksual berbentuk perkosaan atau pemaksaan hubungan seksual selama perkawinannya itu," ujarnya.

Baca Juga: Kurangnya Perhatian pada Perempuan Korban Kekerasan dengan HIV/AIDS

4. RUU perlindungan PRT belum ada kemajuan

(IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam hal eksploitasi tenaga kerja, Komnas Perempuan mengaku prihatin bahwa hingga saat ini RUU perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) belum menunjukkan sinyal kemajuan dalam pembahasannya.

Dalam jangka waktu 2015-2019 ada 2.148 kasus yang dialami oleh PRT mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga kekerasan ekonomi yang tak jarang berujung kematian. Apalagi saat pandemik risiko mereka lebih tinggi.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya