TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kasus Intoleransi 2022, FSGI: Sekolah Negeri Harus Hargai Ragam Agama

Siswa sekolah negeri beragam agama, status sosial dan suku

PTM dibatasi sebanyak 50 persen karena kasus COVID-19 varian Omicron semakin meningkat. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Jakarta, IDN Times - Kasus intoleransi masih ditemukan di lingkungan pendidikan dan merupakan satu dari tiga dosa besar dunia pendidikan. Kemendikbudristek mengakui ada tiga dosa besar di dunia pendidikan, yakni perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi.

Menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), literasi dan moderasi beragama di dunia pendidikan masih belum cukup baik. Sekolah negeri, menurut Sekjen FSGI Heru Purnomo adalah lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh negara dan dioperasikan menggunakan anggaran negara secara langsung maupun tidak, baik melalui APBD maupun APBN yang dihimpun dari pembayaran pajak yang disetorkan oleh seluruh warga negara yang beragam.

“Umumnya sekolah-sekolah negeri siswanya pasti beragam agama, suku dan status sosial, oleh karena itu kebijakan sekolah negeri juga harus menghargai keberagaman, tidak menyeragamkan,” kata Heru, Senin (2/1/2023).

Baca Juga: Ridwan Kamil Dukung Perlawanan Intoleransi Dimulai dari Bangku SMA

1. Kasus pelarangan atau pemaksaan jilbab, hingga minoritas gagal jadi ketua OSIS

Ilustrasi toleransi. IDN Times/Sukma Shakti

FSGI mencatat ada sejumlah kasus intoleran yang terjadi di satuan pendidikan, seperti pada 2014-2022 ada pelarangan peserta didik memakai jilbab atau penutup kepala sebanyak enam kasus, pemaksaan atau mewajibkan peserta didik menggunakan kerudung 17 kasus yang didata sejak 2017 hingga 2022.

Kemudian ada tiga kasus diskriminasi kesempatan peserta didik dari agama minoritas untuk jadi ketua OSIS pada 2020-2022, serta kewajiban salat dhuha hingga membuat siswi harus membuka celana dalamnya guna membuktikan sedang haid atau tidak, untuk kasus ini ada dua selama 2022.

Baca Juga: FSGI Catat Ada 10 Sekolah yang Lakukan Tindakan Intoleransi

2. Pemaksaan dan pelarangan jilbab merupakan simbol dan identitas kepada pihak lain

Ilustrasi siswa mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Sekolah dengan prokes ketat (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Kondisi ini memberi kontribusi bagi terjadinya intoleransi misalnya pelarangan dan pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan simbol dan identitas kepada pihak lain.

”Seharusnya tidak ada lagi sekolah-sekolah negeri yang memaksakan siswinya memakai jilbab. Sebab hal itu bertentangan dengan kebhinekaan Indonesia yang mesti dijunjung, dirawat dan dikokohkan. Apalagi Pendidikan secara prinsip harus berorientasi pada kepentingan siswa, nonkekerasan dari simbolik, verbal hingga tindak kekerasan lainnya,"

3. Pendidikan prinsipnya harus berorientasi kepentingan siswa

Ilustrasi PTM (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Kasus-kasus tersebut terjadi di Rokan Hulu, Riau), Banyuwangi, Jawa Timur, kemudian di Sragen, Jawa Tengah, Bantul dan Gunung Kidul, DIY Yogyakarta, Padang, Sumatera Barat, Tangerang Selatan, Banten, Depok, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung di Jawa Barat. Serta ada juga kasus di Denpasar dan Singaraja, Bali, Maumere, Nusa Tenggara Timur, hingga Manokwari, Papua, dan di DKI Jakarta.

"Seharusnya tidak ada lagi sekolah-sekolah negeri yang memaksakan siswinya memakai jilbab. Sebab hal itu bertentangan dengan kebhinekaan Indonesia yang mesti dijunjung, dirawat dan dikokohkan. Apalagi Pendidikan secara prinsip harus berorientasi pada kepentingan siswa, non-kekerasan dari simbolik, verbal hingga tindak kekerasan lainnya”.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya