TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kasus Marsinah dalam Ingatan, Jalan Panjang Mencari Keadilan

Belum dikategorikan sebagai kasus pelanggaran HAM. 

Ilustrasi Kerusuhan Mei 1998. (IDN Times/Capture Buku Politik Huru Hara Mei 1998)

Jakarta, IDN Times - Mei 2022 menandai 29 tahun Kasus Marsinah berlalu  tanpa keadilan. Pun Tragedi Perkosaan Mei 1998 yang sudah lewat 24 tahun dan kerap disangkal berbagai pihak.

Perempuan Mahardhika menilai pengusutan kasus Marsinah belum bisa bergerak maju karena hingga saat ini kasusnya belum dikategorikan  pelanggaran HAM. 

Koordinator Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi mengungkapkan, pihaknya ingin menegaskan kembali kekerasan seksual Marsinah dan pemerkosaan Mei 1998 untuk segera diakui sebagai pelanggaran HAM.

“Tidak ada alasan untuk menunda pengadilan HAM bagi korban, yang kami maksud di sini butuh komitmen negara untuk kemudian terdapat secara konkret menyetujui agar mengakui kasus Marsinah dan pemerkosaannya ini sebagai pelanggaran HAM,” ujar dia saat Konferensi Pers “Memperingati 24 Tahun Reformasi” secara daring, Jumat (20/5/2022).

Baca Juga: Menuntut Keadilan di Seperempat Abad Marsinah

1. Pemerkosaan sebagai pembungkaman aktivis dan teror pada masyarakat

IDN Times/Sukma Shakti

Dalam kasus Marsinah, kata Ika, sidang yang berlangsung dinilai ganjil dan hanya sidang rekayasa. Hingga saat ini, kasus pemerkosaan dan pembunuhan hingga penculikan Marsinah masih jadi misteri.

Dua isu ini, yakni kasus Marsinah dan pemerkosaan Mei 1998 dinilai punya motif yang sangat kuat, yakni menggunakan pemerkosaan untuk membungkam para pejuang atau aktivis. “Hingga menyebabkan teror di tengah masyarakat,” ujarnya.

Saat ini kasus Marsinah masih digolongkan kasus kriminal biasa, bukan kasus pembunuhan luar biasa. Dalang pembunuhannya juga tak kunjung terlihat batang hidungnya.

2. Dua hal yang menyulitkan kasus pemerkosaan Mei 1998

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Untuk kasus pemerkosaan Mei 1998 yang disoroti Perempuan Mahardhika,  sulitnya kasus ini diusut karena tak ada korban dan saksi yang mau bersuara. Hal ini membuat Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan tentang Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 jadi redup.

“Kami pikir bahwa alasan untuk tidak mengusut atau melanjutkan dokumen atau rekomendasi TGPF untuk adanya penyelidikan lanjutan hanya karena tak adanya korban yang mau bercerita ini tak bisa jadi alasan,” ujarnya.

Karena pemerkosaan menimbulkan dampak traumatis bagi korban apalagi tak semua korban mau muncul ke hadapan publik dan pengadilan. 

3. Mekanisme pembuktian di UU TPKS dengan kasus Marsinah

Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Rapat Paripurna DPR RI saat pengesahan RUU TPKS pada Selasa (12/4/2022). (dok. KemenPPPA)

Tetapi, akhirnya setelah 24 tahun setelah reformasi, Indonesia sudah punya Undang-Undang yang secara komprehensif mengatur kekerasan seksual yakni UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

UU ini dinilai Ika punya sejumlah terobosan, misalnya dalam hal bagaimana korban mengalami trauma berat, penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui pendamping yang termaktub dalam pasal 23 UU TPKS.

Kemudian bagaimana dalam pembuktian alat bukti bisa menggunakan surat keterangan psikolog klinis, psikater, dokter spesialis, rekam medis maupun hasil pemeriksaan forensik sebagai alat bukti yang sah dalam proses penyidikan.

“Situasi ini memberikan perspektif baru dan komitmen bagi Indonesia dalam merespons kasus-kasus kekerasan seksual, terutama kasus kekerasan seksual yang terjadi di masa lalu pada masa rezim militer orde baru,” kata dia.

Baca Juga: Ngeri, Simak 6 Fakta Peristiwa Mei 1998 yang Perlu Diingat

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya