TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kawal Kasasi Kasus Pencabulan UNRI, KemenPPPA Nilai Hakim Gagap Gender

Hakim harusnya menggunakan tafsir hukum progresif

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Kasus pelecehan seksual dengan terdakwa dosen Universitas Riau (UNRI) pada mahasiswanya, turut diawasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Pemerintah mengawal penyusunan permohonan kasasi atas putusan bebas Dekan FISIP UNRI nonaktif Syarif Harto sebagai upaya memberikan keadilan dan pemenuhan hak korban LM. 

Untuk itu, KemenPPPA pun menggelar rapat dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial, serta saksi ahli dan pendamping korban.

“Ketimpangan di Indonesia masih terjadi, khususnya terkait isu perempuan dan anak. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual yang masih subur di ruang publik termasuk di lingkungan perguruan tinggi yang memprihatinkan. Kekerasan di perguruan tinggi kerap terjadi dan tidak tertangani dengan semestinya,” kata Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan, Margareth Robin Korwa, dilansir rilis resmi KemenPPPA Senin (18/4/2022).

Baca Juga: Banjir Kritik! Dekan FISIP Unri Divonis Bebas dalam Kasus Pelecehan

1. Hakim dinilai masih gagap gender

Curahan hati mahasiswi saat menggelar aksi demo penolakan undang undang Omnibus Law (IDN Times/ Bambang Suhandoko)

Margareth mengatakan, dalam konteks kasus pelecehan seksual di UNRI, hakim mendiskriminasi saksi korban kekerasan seksual. Padahal, sudah sepatutnya saksi korban diberi perlindungan. Bukan hanya itu relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak setara juga patut dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus perkara.

Dalam memutuskan perkara hakim dinilai masih “gagap gender.” Hal ini menjadi faktor yang harus diperhatikan dalam menangani kasus kekerasan seksual ke depan.

Sedangkan terkait dengan kekurangan alat bukti saksi dalam kasus UNRI. Sudah sepatutnya majelis hakim menggunakan tafsir dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa saksi tidak harus melihat, mendengar dan mengalami tindak pidana. Sebab, dalam kasus pencabulan dan persetubuhan hampir mustahil ada saksi yang melihat dan mendengar peristiwa pidana kecuali saksi korban.

2. Banyak hakim belum paham dan kenal prespektif gender

Ilustrasi hukum (IDN Times/Sukma Shakti)

Dia menyebut, melihat hal ini, perlu ada perjalanan panjang untuk mendorong hakim-hakim memutuskan perkara dengan perspektif yang jernih pada ketidakadilan yang dialami perempuan.

“Banyak hakim yang masih kurang memahami atau mengenali perspektif gender, mereka memutus perkara hanya berdasarkan undang-undang, namun tidak menggunakan rasa keadilan sebagai landasan filosofis di dalam memutuskan perkara,” ujar Margareth.

Perspektif gender sangat penting, khususnya dalam situasi meningkatkannya pelaporan terhadap kasus kekerasan seksual dan telah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

3. Pelecehan dengan sentuhan dan verbal kadang tidak punya alat bukti

ilustrasi korban pelecehan seksual (psychologytoday.com)

Komisioner Komisi Kejaksaan, Ressi Anna, mengatakan jika pihaknya mendapatkan informasi putusan kasus pelecehan UNRI membebaskan pelaku, karena alat bukti yang dinilai minim. Hal ini memerlukan rasa sensitif dari hakim. Pelecehan dengan sentuhan dan verbal kadang tidak punya alat bukti.

“Hebat sekali jaksa dengan bukti yang minim berani menyampaikan tuntutan kepada hakim,” kata dia.

Meski putusan telah ditetapkan, Ressi mengatakan proses penyusunan Kasasi harus dikawal sebaik mungkin agar mendapatkan hasil yang terbaik untuk keadilan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya