TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kenapa Kasus Kekerasan Seksual Baru Jadi Perhatian Usai Viral?

NW bunuh diri di pusara Ayahnya karena dipaksa aborsi pacar

Ilustrasi media sosial (IDN Times/Sunariyah)

Jakarta, IDN Times - Kasus kekerasan seksual dialami seorang mahasiswi asal Malang berinisial NW. Tragis, NW memilih mengakhiri hidup dengan meminum racun di makam ayahnya karena dipaksa aborsi oleh kekasihnya yang merupakan anggota Polri, yakni Bripda RB. 

Kasus ini jadi perhatian usai viral di media sosial. Tagar yang mendukung keadilan bagi NW pun trending di Twitter, Sabtu (4/12/2021) dan kasus ini kini jadi perhatian berbagai pihak terlebih polisi karena melibatkan salah satu anggotanya.

Namun, apa yang membuat kasus kekerasan seksual lebih mudah didengar usai viral di media sosial dibanding saat melaporkan ke pihak berwenang? Dan kenapa banyak korban yang lebih berani bersuara di media sosial?

IDN Times pernah membahas bersama dengan perwakilan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) sekaligus anggota Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (KOMPAKS) Neqy terkait fenomena ini. Menurutnya, ini terjadi karena masyarakat belum teredukasi harus melapor ke mana saat mengalami pelecehan.

"Atau mereka merasa lembaga-lembaga aduan itu belum aman dan nyaman buat mereka," kata dia dalam program Ngobrol Seru IDN Times: Waspada Pelecehan Seksual di Transportasi Umum!" pada Rabu (10/6/2021) lalu.

Baca Juga: Polri Pecat Bripda Randy Bagus, Polisi yang Minta Pacar Aborsi 2 Kali

1. Kerap bungkam karena beberapa hal

Perwakilan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) sekaligus anggota Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (KOMPAKS), Neqy dalam acara Ngobrol Seru: Waspada Pelecehan Seksual di Transportasi Umum!", Rabu (10/6/2021). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Neqy beranggapan bahwa ada kecenderungan korban kekerasan seksual yang enggan untuk buka suara dan melapor tentang apa yang dialaminya. Fenomena itu, kata dia, bisa disebabkan beberapa hal.

Mulai dari pelecehan seksual memiliki efek yang besar, tetapi paling sulit dibuktikan karena sering kali tidak meninggalkan jejak fisik. Kedua, dianggap kurang bukti, dan ketiga ketika korban tidak melawan saat mengalami pelecehan, ia sering kali dianggap menyetujui terjadinya aktivitas seksual.

Neqy mengatakan walaupun kesadaran masyarakat sudah terbentuk terkait kasus kekerasan sekusal, penyediaan tempat atau sarana pelaporan juga harus disediakan dan dimaksimalkan untuk melayani para korban.

2. Kasus NW bentuk Dating Violence

Ilustrasi tindak kekerasan terhadap perempuan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Kasus yang dialami NW adalah bentuk Dating Violence atau kekerasan dalam berpacaran. Menteri Bintang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Bintang Puspayoga menyatakan, kasus NW ini menyadarkan dan memicu kita semua untuk lebih aktif melakukan pencegahan agar tidak timbul lagi korban.

“Setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran HAM. Kekerasan dalam pacaran adalah suatu tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak dan berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan hak secara sewenang-wenang kepada seseorang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi,” ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip, Senin (6/11/2021).

“Kami juga berpesan kepada seluruh perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, kalian bisa melapor ke layanan dan penjangkauan korban di SAPA 129 atau bisa menghubungi Call Centre 08111-129-129 agar segera mendapatkan pertolongan," katanya.

Baca Juga: Mahasiswi Bunuh Diri di Makam, Mantan Pacar Jadi Tersangka

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya