TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan Seksual Tinggi di Sekolah Agama

Ada empat kerentanan yang dicatat Komnas Perempuan

Ilustrasi Anti-Kekerasan Seksual (IDN Times/Galih Persiana)

Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan terus memantau kasus kekerasan seksual yang menimpa 13 santriwati pondok pesantren di Bandung dengan pelaku Herry Wirawan. Menurut mereka, kasus kekerasan seksual yang jadi bagian fenomena gunung es, karena sudah berlangsung sejak 2016 dan baru terungkap pada 2021.

Bahkan, ada sembilan bayi yang lahir akibat kekerasan seksual yang dilakukan Herry Wirawan.

“Dalam pemantauan Komnas Perempuan, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan secara umum," kata Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat dalam keterangannya, Selasa (19/4/2022).

Baca Juga: Jejak Digital Korban Kekerasan Seksual Bakal Dihapus Melalui RUU TPKS

1. Kerentanan khusus anak jadi korban kekerasan seksual

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Komnas Perempuan juga mencatat kerentanan-kerentanan khusus anak perempuan korban kekerasan seksual. Pertama, relasi kekuasaan berlapis antara pelaku selaku pemilik pesantren dan guru pesantren punya pengaruh dan dapat memanfaatkan pengaruhnya dengan santriwati.

Kedua, adalah publik yang menempatkan pemilik pesantren dan gurunya pada posisi terhormat.

Ketiga, ketakutan korban dan keluarganya baik karena adanya ancaman maupun posisi terhormat pelaku.

"Keempat, korban dan keluarganya juga ketakutan mengalami hambatan-hambatan dalam proses pendidikan akibat kekerasan seksual yang dialaminya,” kata Rainy.

2. Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian 13 santriwati dan keluarganya

Ilustrasi. IDN Times/Margith Juita Damanik

Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian 13 santriwati dan keluarganya untuk bersuara soal kasus kekerasan seksual yang mereka alami, termasuk kepada pendamping yang setia berikan fasilitas agar kebenaran kasus terungkap.

Atas putusan pidana mati, sejak semula Komnas Perempuan telah menyampaikan pandangannya yang didasarkan prinsip dan norma hak asasi manusia (HAM) internasional dan perundang-undangan nasional.

Hak untuk hidup adalah norma dasar dalam instrumen HAM internasional maupun nasional. Penghormatan pada hak atas hidup adalah komitmen global untuk hentikan segala bentuk penghilangan nyawa manusia.

Komnas Perempuan mendorong agar pengadilan bisa pertimbangkan sanksi hukuman penjara seumur hidup serta seturut dengan prinsip dan norma HAM internasional. Menolak hukuman mati bukan berarti tak mendukung korban menurut Rainy.

3. Apresiasi putusan Pengadilan Bandung soal kasus Herry Wirawan

Infografis Perjalanan RUU TPKS untuk jadi Undang-Undang (IDN Times/Aditya Pratama)

Komnas Perempuan mengapresiasi putusan Pengadilan Bandung terkait hak atas pemulihan, restitusi dan hak pada korban dalam memberikan persetujuan untuk perawatan dan pengasuhan anak.

Hakim banding mengoreksi bahwa restitusi adalah hak pada korban dan jadi kewajiban pelaku untuk pulihkan dampak kekerasan seksual yang dialami para korban dengan biaya  pribadi bukan dari negara.

“Dengan mengoreksi sebagai hak korban dan bukan pidana tambahan maka putusan  maksimal dapat  ditetapkan sebagai pemenuhan kewajiban membayar restitusi,” kata dia.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya