TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

KontraS Soroti Pengamanan Aparat di G20: Berlebihan dan Represif

Pengamanan berimbas pada pembungkaman kritik

Peserta delegasi negara G20 berbincang-bincang sebelum memulai rapat pertemuan Digital Economy Working Group (DEWG) Presidensi G20 di Yogyakarta, Kamis (19/5/2022). Pertemuan DEWG Presidensi G20 hari ketiga mengangkat tema "Workshop on the G20 Toolkit Measuring Digital Skills and Digital Literacy". ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Jakarta, IDN Times - Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, menyoroti pengamanan pra-penyelenggaraan KTT G20 di Bali yang dianggap berlebihan.

"Sejumlah tindakan itu didalihkan untuk menjaga situasi kondusif dan protokoler aparat keamanan, untuk menjaga citra penyelenggaraan agenda Internasional di mata dunia," ujarnya dalam keterangan pers, Kamis (10/11/2022).

"Bukan hanya aparat keamanan, kelompok Ormas pun ikut serta melakukan pengamanan dan membatasi kegiatan dengan ikut melakukan intimidasi dan menghalangi masyarakat sipil mengkritik pemerintah dan berkampanye soal lingkungan," tambahnya. 

Baca Juga: Dua Desa di Bali Bakal Terapkan PPKM selama KTT G20

1. Dianggap menyulitkan akses dan akomodasi warga setempat

Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar ketika berbicara di program siniar dengan Fatia Maulidiyanti (Tangkapan layar YouTube Haris Azhar)

KontraS melihat pengamanan yang dilakukan sangat berlebihan atau excessive use of force. Mulai dari pengerahan 11 satuan tugas pengamanan side event G20 dari satgas intelijen, hingga satgas pemantauan wilayah.

"Penempatan petugas keamanan secara berlebihan tersebut seperti di pelabuhan dengan mengerahkan aparat Kepolisian, Satpol PP, hingga TNI yang memfokuskan pemeriksaaan digelar di pintu masuk pelabuhan menggunakan metal detector hingga kamera CCTV," ujarnya.

Penempatan kepolisian di beberapa tempat juga dianggap menyulitkan akses dan akomodasi warga setempat.

2. Penggunaan identifikasi wajah orang yang dianggap asing dan berbahaya

Umat yang akan mengikuti misa di Gereja HKTY Ganjuran wajib scan barcode kartu identitas diri.(IDN Times/Daruwaskita)

Selain itu, kata Fatia, KontraS juga menyoroti penggunaan face recognition terhadap warga yang keluar-masuk untuk keperluan identifikasi wajah orang yang dianggap asing dan berbahaya.

"Di banyak negara, penggunaan face recognition bermasalah perihal privasi dan kriminalisasi. Di beberapa kasus, penggunaan alat tersebut sering kali mengidentifikasi dan mengancam keterlibatan masyarakat dalam mengemukakan pendapat secara damai, karena dianggap sebagai ancaman bagi ketertiban umum," ujarnya.

Selain itu, pengamanan berlebihan pada momentum G20 harusnya diiringi dengan suka cita, bukan dengan penuh ketakutan warga sipil.

Baca Juga: Dua UMKM Bali yang Tembus Pasar Eropa Ikut Pameran KTT G20

3. Memengaruhi masyarakat untuk membantu tugas aparat

(g20.org/media)

KontraS juga mengecam rangkaian intimidasi terhadap aktivis lingkungan yang ingin menyampaikan pendapatnya soal perubahan iklim di G20.

Pada Senin (11/8/2022), Fatia menyebut ada intimidasi dialami oleh tim pesepeda Chasing the Shadow yang ingin melakukan kampanye selama KTT G20 oleh kelompok yang mengaku sebagai perwakilan masyarakat Probolinggo.

"Dari kejadian tersebut, terlihat intimidasi bukan dilakukan oleh kepolisian tetapi oleh kelompok ormas, yang artinya ada pengkondisian secara berlebihan dan memengaruhi masyarakat untuk membantu tugas aparat seakan-akan terjadi konflik horizontal. Rangkaian intimidasi tersebut secara jelas merusak prinsip demokrasi dan mencederai kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi," ujarnya. 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya