TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

KontraS: UU Cipta Kerja Kesampingkan Hak-hak Kelas Pekerja

DPR dikritik jadi tukang stempel kebijakan pemerintah

Aksi unjuk rasa KSPI menolak pembahasan Omnibus Law RUU CIptaker di depan Gedung DPR, Senin (3/8/2020) (Dok. IDN Times/KSPI)

Jakarta, IDN Times - Kritik terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang baru disahkan DPR RI muncul dari berbagai kelompok masyarakat. Teranyar, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengecam keras langkah pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang tersebut.

KontraS menyebut, sejak awal kehadiran Perppu Cipta Kerja diwarnai gelombang penolakan, berupa protes dan demonstrasi rakyat khususnya dari berbagai serikat buruh dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya.

"Sama seperti pendahulunya (UU Cipta Kerja), Perppu Cipta Kerja memberikan “karpet merah” atau privilege kepada pengusaha dan investor, namun mengesampingkan hak-hak kelas pekerja," tulis Koordinator KontaS Fatia Maulidiyanti dalam keterangannya dilansir, Jumat (24/3/2023).

Sebelumnya, gelombang protes juga dilakukan mahasiswa yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) bahkan mengunggah video di Instagram dengan gambar Ketua DPR RI Puan Maharani berbadan tikus.

Baca Juga: Poin-poin UU Cipta Kerja Terbaru yang Disahkan DPR 

1. Pengesahan Perppu Ciptaker akal-akalan pemerintah bangkang MK

Unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Ciptaker di Makassar. IDN Times/Sahrul Ramadan

Selain itu, pengesahan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo, menurut KontraS merupakan bentuk akal-akalan pemerintah untuk membangkang putusan MK dan mengesampingkan aspirasi masyarakat.

MK meminta DPR memperbaikinya dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Namun, tak ada yang menjalankan perbaikan.

KontraS juga berpendapat bahwa pengesahan Perppu Cipta Kerja oleh DPR begitu berbahaya bagi konsep negara hukum yang menghendaki adanya pembagian kekuasaan atau distribution of power.

"Judicial Review di Mahkamah Konstitusi sejatinya merupakan salah satu mekanisme check and balances dalam negara demokrasi untuk mengoreksi keputusan pemerintah," kata Fatia.

2. DPR disebut sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah

Ketua DPR RI, Puan Maharani membuka Rapat Paripurna DPR RI pertama pada Senin (16/8/2021). (youtube.com/DPR RI)

KontraS menyebut, DPR sebagai perwakilan rakyat, harusnya mendukung putusan mahkamah tersebut yang bersifat final and binding, sekaligus mengartikan bahwa tidak ada upaya hukum lainnya yang dapat ditempuh. Sehingga, presiden sebagai objek putusan harus tunduk pada hal tersebut.

"Sayangnya, DPR tak lebih dari sebatas ‘tukang stempel’ kebijakan pemerintah," ujar Fatia menegaskan.

Fenomena ini dinilai sangat berbahaya, karena bisa jadi preseden buruk bagi pembuatan regulasi atau kebijakan pemerintah ke depannya. Sebab, tak ada jalan yang dapat ditempuh oleh masyarakat untuk menggugat regulasi yang dibuat presiden bersama dengan legislatif.

"Hal ini jika ditelisik lebih jauh, merupakan bentuk absolutisme kekuasaan yang mana memusatkan otoritas ada pada eksekutif," ujarnya.

3. DPR disebut ambil fast track dengan sahkan Perppu Cipta Kerja

Gedung DPR RI (IDN Times/Kevin Handoko)

KontraS juga menilai, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja menunjukkan bahwa DPR tidak peduli dengan aspirasi masyarakat, khususnya kelompok buruh lewat berbagai protes dan demonstrasi yang sudah dilangsungkan.

"Sama seperti presiden, DPR juga menunjukkan keberpihakan kepada investor dan pengusaha dan mengorbankan kepentingan rakyat," ujar Fatia.

Disahkannya Undang-undang ini artinya menunjukkan bahwa DPR membangkang terhadap putusan MK dan mengambil fast track dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja yang materi muatannya sama dengan UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Tok! DPR Sahkan Perppu Cipta Kerja Jadi Undang-Undang

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya