TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengawal Implementasi UU TPKS Dari Berbagai Perspektif

Mulai dari keberagaman isu dan disabilitas

Pemerintah menggelar rapat dengan Panitia Kerja RUU TPKS, di Jakarta (1/4) (Dok. KemenPPPA)

Jakarta, IDN Times - Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah disahkan pada 12 April 2022. Lewat UU ini akhirnya aparat penegak hukum (APH) punya payung hukum atau legal standing yang selama ini belum ada untuk menangani jenis kasus kekerasan sekual.

Belum selesai sampai di situ, UU TPKS saat ini harus diawasi implementasinya di tengah masyarakat.

Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ali Hasan, mengatakan jika UU ini sedang menunggu ke lembaran negara agar segera mengikat. Hadirnya UU ini jadi sesuatu yang penting bagi seluruh masyarakat Indonesia.

"Memang menjadi arti yang penting bagi kita semua khususnya seluruh WNI, karena berlaku mengikat pada semua karena apa? UU ini hadir bersifat leg spesialis, kemudian sebagai perspektif hak korban tentunnya," kata dia dalam dialog publik yang diselenggarakan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) Indonesia secara daring, Selasa (26/4/2022).

1. Beberapa terobosan UU TPKS

Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Rapat Paripurna DPR RI saat pengesahan RUU TPKS pada Selasa (12/4/2022). (dok. KemenPPPA)

Dia menjelaskan secara komprehensif UU ini merupakan jaminan pemenuhan hak korban hingga keamanan dan pemulihannya. UU ini diklaim berperspektif hak korban.

UU ini juga punya terobosan terkait alat bukti dan pembuktian, kemudian pendampingan yang terintegrasi dengan pelayanan terpadu bahkan menyinggung soal restitusi sebagai hak korban yang kini ditetapkan sebagai pidana pokok wajib, bukan lagi pidana tambahan.

Baca Juga: Restitusi Korban Kekerasan Seksual bisa Diajukan dari Tingkat Bawah

2. Kekerasan seksual menimpa bermacam-macam orang

Ilustrasi. IDN Times/Galih Persiana

Sementara, Dokter transpuan pertama di Indonesia, dr Alegra Wolter, mengatakan bila UU TPKS ini salah satu bagian dari kunci penanganan tindak pidana kekerasan seksual secara keseluruhan.

Dia mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual menimpa bermacam-macam orang, bukan hanya pada perempuan saja.

Sementara layanan kesehatan guna menangani kasus kekerasan seksual dirasa belum terlalu menjamin korban secara inklusif karena tenaga kesehatan masih tidak terlalu sensitif soal culture yang ada dan demografi seksual gender.

"kita belum jamin layanan kesehatan inklusif," kata dia.

Bukan hanya itu perlu ada pemahaman keberagaman korban kekerasan seksual, selain itu riset harus diperbanyak dan menjadikannya sebagai modul.

3. Bentuk pengakuan adanya kebutuhan perlindungan

Dialog publik yang diselengarakan oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) Indonesia secara daring, Selasa (26/4/2022). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Ketua umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni)  mengungkapkan, makna disahkannya Undang-Undang TPKS adalah bentuk pengakuan adanya kebutuhan perlindungan lebih pada penyandang disabilitas.

"Tentunya perempuan penyandang disabilitas remaja dan anak penyandang disabilitas yang lebih rentan mengalami kekerasan seksual karena kerentanan fisiknya, psikologi," kata dia dalam kesempatan yang sama.

Beberapa hal yang diwujudkan kata dia adalah pelapor korban tidak kekerasan seksual adalah disabilitas maka pidana pelaku akan ditambah sepertiganya. Hingga pengakuan penyandang disabilitas sebagai subjek hukum yang memiliki kapasitas hukum.

Baca Juga: FJPI Siap Kawal Implementasi RUU TPKS, Perempuan Harus Berani Melapor

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya