TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Penanganan Kekerasan Perempuan dan Anak di NTT Terhambat Banyak Hal

Mulai dari lokasi hingga keluarga

Diskusi Publik “Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemi Covid -19 di Indonesia Timur” Kamis (9/12/2021). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Jakarta, IDN Times - Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS),  Nusa Tenggara Timur (NTT), Agnes L.S Fobia, mengungkapkan tantangan penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak selama masa pandemik COVID-19.

Salah satu hal yang menjadi masalah adalah akses terbatas tatap muka saat COVID-19. Masalahnya, tak sedikit korban yang lebih nyaman dijangkau secara langsung, maka dari itu penjangkauan korban tetap dilakukan tatap muka namun menghadapi tantangan berlapis lainnya.

"Pendampingan jika lewat telepon agak sulit dilakukan karena lokasi dan juga wilayah kami yang tidak bisa dijangkau dengan telepon, ada wilayah tertentu yang jaringannya belum dijangkau, sehingga butuh waktu dan upaya kami untuk bisa mendatangi korban secara langsung," kata Agnes dalam Diskusi Publik “Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemik COVID-19 di Indonesia Timur”, Kamis (9/12/2021).

1. Kasus kekerasan jadi aib keluargan hingga hubungan korban dan pelaku

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) dalam Diskusi Publik “Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemi Covid -19 di Indonesia Timur” Kamis (9/12/2021). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Selain itu, kurangnya dukungan keluarga untuk melaporkan kasus ke pihak berwajib juga kerap ditemui. Agnes menjelaskan kasus kekerasan yang dialami seorang perempuan dan anak di TTS kerap jadi aib keluarga. Pelaku dan korban juga memiliki keterikatan yang membuat laporan terhambat.

"Adanya ketergantungan secara ekonomis kepada pelaku, karena korban kebanyakan di daerah kami adalah pelakunya orang-orang dekat," ujar dia.

2. Kondisi yang tak boleh ditangani hingga masalah teknologi

Ilustrasi Hotline. (IDN Times/Aditya Pratama)

Keterbatasan dalam pemanfaatan teknologi informasi, kata Agnes, juga jadi kendala menjangkau korban kekerasan, walau di daerahnya sudah memiliki hotline, khususnya melaporkan kasus yang dialami, sering tidak dapat dimanfaatkan karena keterbatasan pengetahuan memanfaatkan teknologi informasi.

"Korban kekerasan juga terlambat kami bantu karena memang situasi di mana kondisi tidak boleh didatangi, sehingga persoalan lambat ditangani," kata dia.

3. Ada 95 kasus kekerasan yang dicatat Dinas P3

Ilustrasi Kekerasan pada Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Data kekerasan yang dilaporkan melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)  kabupaten TTS, jumlahnya mencapai 95 kasus.

"Kami sudah input melalui aplikasi SIMFONI (KemenPPPA), jumlahnya 95 kasus, yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan ada 44 orang," ujar Agnes.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya