TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Bagaimana Jika Kotak Kosong Menang Lawan Capres Tunggal?

Munculnya calon tunggal akibat partai gagal melahirkan kader

IDN Times/Sukma Shakti

Jakarta, IDN Times - Pemilihan Presiden 2019 tidak lama lagi akan berlangsung. Presiden Joko Widodo atau Jokowi dipastikan maju sebagai petahana dalam ajang pesta demokrasi itu.

Namun, siapa yang akan menjadi rival Jokowi dalam pesta demokrasi lima tahunan ini belum terlihat jelas. Bahkan, wacana munculnya calon presiden tunggal sempat mencuat.

1. Undang-undang membuka ruang capres tunggal

IDN Times/Sukma Shakti

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman mengatakan, terbuka ruang munculnya calon presiden dan calon wakil presiden tunggal dalam Pilpres 2019. Salah satunya karena ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

"Semua kemungkinan bisa terjadi, bisa lebih dari satu pasangan calon, bisa juga terjadi paslon (pasangan calon) tunggal, karena undang-undang sudah membuka ruang itu. KPU tinggal menjalankan saja," ujar Arief beberapa waktu lalu.

Baca juga: Apa Jadinya Jika Jokowi Berpasangan dengan Prabowo Pada Pilpres 2019?

2. Partai baru tak bisa mengusung calon presiden

IDN Times/Sukma Shakti

Sementara, Komisioner KPU Hasyim Asy'ari menyebutkan ketentuan ambang batas presiden tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Dalam aturan tersebut disebutkan pasangan calon Pemilu 2019 hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.

"Yang dapat mencalonkan itu hanya partai politik peserta pemilu DPR sebelumnya. Artinya, kan partai peserta pemilu 2014. Partai baru ya gak bisa mencalonkan presiden dan wakil. Oleh karena itu untuk mencalonkan presiden, harus membangun koalisi partai," ujar Hasyim.

Namun, lanjut Hasyim, jika ternyata parpol gabungan tersebut tetap masih tidak mencapai batas minimal untuk mendaftarkan, maka tetap tidak boleh mendaftarkan calon. Sehingga, sekalipun KPU sebagai penyelenggara pemilu mengupayakan pendaftaran untuk menghasilkan lebih dari satu pasangan calon tunggal tidak tercapai, maka tahapan pemilu dengan satu pasangan calon tetap dilaksanakan.

"Itu artinya undang-undang ini di bagian awal tidak boleh pasangan tunggal, tapi kalau kemudian sampai batas waktu ditentukan yang daftar cuma itu, undang-undang mengatakan pilpres jalan terus," kata dia.

3. Bagaimana jika kotak kosong menang dari pasangan calon tunggal?

IDN Times/Sukma Shakti

Jika pemilihan presiden tetap diikuti calon tunggal, maka capres tunggal tersebut akan melawan kotak kosong. Lantas apa yang akan terjadi jika kotak kosong yang menang? 

Dalam undang-undang disebutkan, untuk bisa memenangi pemilu, paslon harus memperoleh suara minimal 50 persen + 1 suara yang tersebar di minimal 18 provinsi yang suara masing-masing minimal 20 persen.

Ketentuan itu merupakan syarat keterpilihan yang mutlak harus dipenuhi, bahkan jika hanya ada satu pasangan calon. Jika ketentuan ini tidak dapat terpenuhi oleh pasangan calon, maka penyelenggara pemilu harus melakukan pemungutan suara ulang untuk mencapai syarat tersebut. 

Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, sangat tidak baik kalau kotak kosong menang. Maka perlu ada pemilihan ulang tanpa menyertakan capres yang kalah tersebut.

"Secara demokrasi kan kedaulatan di tangan rakyat, rakyat yang berdaulat menjatuhkan pilihan ke kotak kosong, tentunya harus diulang dong, perlu ada lagi pendaftaran capres ulang. Tentu calon yang kalah dari kotak kosong ya jangan maju lagi," kata Emrus saat dihubungi IDN Times, Senin (12/3).

Namun, dia menilai, capres tunggal tidak baik dalam proses demokrasi. Sebab, ini menunjukkan legitimasi capres itu kurang dan harus ada peninjauan terhadap undang-undang.

4. Capres tunggal adalah kegagalan partai politik

IDN Times/Sukma Shakti

Di sisi lain, Emrus menilai, jika fenomena capres tunggal terjadi, maka yang perlu dikritisi adalah partai politik di Indonesia. Partai dianggapnya tidak bisa menciptakan kader yang baik sebagai calon pemimpin.

"Berarti partai tidak mampu melahirkan pemimpin. Apa dong kerja mereka selama ini kalau tidak mampu melahirkan pemimpin? Mereka kan dapat APBN, masak gak mampu melahirkan pemimpin untuk bersaing dalam demokrasi? Artinya, dalam partai tersebut berarti tidak ada proses kaderisasi yang berlangsung dengan baik yang melahirkan pemimpin bagus," ujar dia.

Menurut Emrus tidak baik jika politisi bondong-bondong mendirikan partai, tapi pada akhirnya mereka tidak mampu melahirkan pemimpin. 

"Tujuan partai itu kan melakukan proses pendidikan politik, melakukan kaderisasi, melahirkan pemimpin baik di eksekutif maupun legislatif. Bahkan, di yudikatif kan melalui fit and proper. Peran partai setelah reformasi sebenarnya sangat luar biasa. Kalau sampai calon tunggal  terjadi maka yang salah itu partai. Bukan si calon tunggal yang salah," tutur Emrus.

Baca juga: Pilpres 2019: Demokrat Buka Pintu Koalisi, Poros Baru Jadi Opsi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya