Ini Deretan Pejabat yang Diseret Novanto di Kasus E-KTP
Pengacara Novanto mempertanyakan surat dakwaan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto hari ini menjalani sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) di Pengadillan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat.
Pantauan IDN Times, Rabu (20/12), Novanto tampak lebih segar dibanding persidangan perdana pada Rabu 13 Desember lalu. Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini memakai kacamata dan mengaku sehat, serta lebih siap menjalani sidang dengan agenda pembacaan eksepsi atau pembelaan.
Jika sebelumnya Novanto memilih irit bicara, kali ini pria yang akrab disapa Setnov itu lebih bersemangat melakukan pembelaan atas dakwaan yang sebelumnya dibacakan jaksa.
Baca juga: Pengacara Setya Novanto Kecewa Kliennya Diperiksa Dokter dari IDI
Pengacara Novanto lainnya, Firman Wijaya juga menyinggung mengenai waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti) dan tempat dilakukannya tindak pidana (locus delicti) para terdakwa yang ternyata berbeda.
"Tempus delicti terdakwa Irman dan Sugiharto November 2009-Mei 2015. Namun dalam perkara Andi Agustinus November 2009-Mei 2015. Tempus delicti Setya Novanto November 2009-Desember 2013," kata dia.
Sedangkan perbedaan locus delicti tindak pidana yang terjadi, lanjut Firman, yakni Irman dan Sugiharto di Graha Mas Fatmawati, kantor Ditjen Dukcapil, Hotel Sultan. Sementara, locus delicti dalam dakwaan Andi Narogong di Gedung DPR, Hotel Gran Melia, dan Graha Mas Fatmawati.
"Namun pada surat dakwaan Pak Novanyo, tempat terjadinya tindak pidana disebutkan di Gedung DPR, Hotel Gran Melia, Graha Mas Fatmawati, Equity Tower, Jl Wijaya XIII, Jaksel," papar Firman.
1. Mempertanyakan jumlah uang suap dan waktu terjadinya suap
Dalam sidang eksepsi, pengacara Novanto, Maqdir Ismail mempertanyakan dakwaan jaksa bahwa kliennya menerima uang dan barang terkait proyek e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Menurutnya, surat dakwaan tidak cermat dibandingkan surat dakwaan lain.
"Beliau itu dari berita acara pemeriksaan yang dilakukan dalam perkara Pak Novanto, menyangkal pernah menerima uang. Akan tetapi di dalam dakwaan Pak Irman, Sugiarto dikatakan menerima uang Rp 50 juta dan 4,5 dollar. Tapi di dalam perkara Andi Naronggong beliau dikatakan hanya menerima Rp 50 juta. Ini berbeda lagi ketika didakwaan pak Novanto, beliau menerima uang 50 juta kemudian juga ada ruko dan tanah di Kebayoran. Bagaimana mungkin seseorang akan bisa membela secara baik ketika didakwa bersama-sama tetapi faktanya beda? Inilah yang kami kritisi dari surat dakwaan," ujar Maqdir di PN Tipikor, Rabu (20/12).
Baca juga: Dikenal Orang 'Dekat' Novanto, Idrus Marham Terancam Dicopot dari Sekjen Golkar
Melchias Mekeng yang disebutkan menerima USD 1.400.000, Olly Dondokambey USD 1.200.000, Tamsil Linrung USD 700.000, Arif USD 1.080.000, Chairumah Harahap USD 58.000 dan Rp 26 miliar, Ganjar Pranowo USD 520.000, dan Yasonna H Laoly USD 84.000.
Selain itu, sejumlah nama seperti Khatibul Umam Wiranu juga disebutkan menerima USD 400.000, Marzuki Alie USD 400.000, Anas Urbaningrum USD 5.500.000, Agun Gunanjar Sudarsa USD 1.407.000, Mustoko Weni USD 408.000, Ignatius Mulyono USD 208.000, Taufik USD 103.000, dan Teguh Djuwarno USD 167.000, serta Kapoksi mendapat fee masing-masing USD 37.000
"Total selisih uang yang tidak tercantum Rp 233.460.000.000 perhitungan ini kurs USD 1 seharga Rp 13.000. Jadi ini berada di tangan siapa?" tandas Maqdir.