TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Apa Itu Kebiri Kimia? Ini Penjelasan Medisnya

Benarkah kebiri kimia melanggar kode etik kedokteran?

IDN Times/Margith Juita Damanik

Jakarta, IDN Times - Meski Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak telah disahkan, namun masih banyak pro dan kontra dalam pelaksanaannya. Salah satunya terkait dampaknya terhadap kesehatan.

Spesialis Andrologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Wahyuning Ramelan Sp.And. memberikan pandangannya terkait kebiri kimiawi.

Kepada IDN Times, Wahyuning menjelaskan kebiri kimiawi dari sudut pandang medis. Berikut pemaparannya.

Baca Juga: KemenPPA Dukung PP Kebiri Kimia Predator Seksual Anak, Ini Alasannya

1. Dalam dunia kedokteran, kebiri kimia hanya diberikan pada pasien khusus

Ilustrasi Menyuntik (IDN Times/Arief Rahmat)

Wahyuning mengatakan, tindakan kebiri kimia dalam dunia kedokteran hanya diberikan kepada pasien khusus, yaitu yang kadar hormon testosteronnya tinggi. Namun, menurut dia, tidak banyak pasien yang mengalami kasus ini.

"Sehingga dia, orang dengan kadar hormon testosteron tinggi itu mengeluh tidak bisa menghentikan dorongan sebagai akibat hormon tersebut," kata Wahyuning saat ditemui di Universitas Al Azhar, Jakarta, Selasa 27 Agustus 2019 lalu.

"Sehingga diberikan kebiri kimia yang sifatnya adalah untuk menekan fungsi hormon testosteron yang tinggi tadi. Dengan memberikan zat kimia yang seolah-olah berlawanan dengan hormon testosteron," lanjut Wahyuning.

2. Istilah kebiri kimia tidak populer di dunia medis

IDN Times/Margith Juita Damanik

Menurut Wahyuning, istilah kebiri kimia tidak begitu populer di dunia medis. Istilah ini, lanjutnya, muncul belakangan terkait dengan kasus hukum yang tengah bergulir.

"Kondisi seperti itu kita bisa sebutkan sebagai yang umum adalah hyper androgenisme atau hyper testosterone. Jadi artinya testosteron yang berlebih," ungkapnya.

3. Hanya dapat dilakukan dengan suntikan

Ilustrasi Suntikan (IDN Times/Arief Rahmat)

Hingga saat ini, menurut Wahyuning, tindakan kebiri kimia hanya dapat diberikan ke seseorang dengan jarum suntik.

"Harus dengan suntikan. Secara pil sampai sekarang belum ada, jadi masih suntikan," kata Wahyuning.

Situasi ini membuat tindakan kebiri kimia harus dilakukan oleh tenaga medis. "Secara filosofis karena dokter itu adalah menolong pasien, jadi sebenarnya dokter tidak boleh melakukan itu kalau pasien tidak mengatakan kondisi yang harus diberi seperti itu," kata laki-laki berusia 78 tahun ini.

"Dan itu pun harus dengan persetujuan, memberikan terapi kan karena itu," lanjut dia.

4. Wahyuning sebut kebiri kimia tidak punya efek berarti bagi kesehatan anggota tubuh

IDN Times/Margith Juita Damanik

Wahyuning menjelaskan, bahan kimia yang disuntik ke dalam tubuh seseorang untuk proses kebiri kimiawi, efeknya akan memberi tekanan kepada testosteron. "Seolah-olah merusak testosteron itu sendiri, sehingga testosteron itu tidak bisa bekerja dengan baik," jelas dia.

Dikatakan seolah-olah, karena hormon testosteron tidak sepenuhnya dirusak. "Kalau kebiri yang mengambil buah zakar, itu lantas tidak ada produksi testosteron nah ini testosteron tetap diproduksi tapi testosteronnya kemudian dirusak, seolah dihancurkan," kata dia lagi.

Namun menurut Wahyuning, untuk organ tubuh lainnya, tidak ada efek samping yang berarti. "Sebenarnya tidak ada efek karena itu. Itu hukumnya lakukan seperti itu karena dinilai tidak ada efek yang terlalu merugikan," kata Wahyuning.

5. Cara kerja kebiri kimia

Ilustrasi Pemerkosaan (IDN Times/Mardya Shakti)

Wahyuning membeberkan, tidak ada rasa sakit ketika zat kebiri kimia disuntikkan pada tubuh seseorang. Rasa sakit hanya terasa ketika jarum suntik ditusukkan. Sebelum tindakan ini dilakukan, kata Wahyuning, harus ada bukti yang diajukan melalui penelitian yang melibatkan banyak pihak.

Hal ini juga dilakukan secara berkala, bisa per minggu, per bulan, maupun per tahun. Setelah suntikan tak lagi diberikan, tidak ada kecacatan hormon yang akan dialami pasien.

"Hormon testosteron akan kembali seperti normal," ujarnya.

Baca Juga: Kebiri Kimia Predator Seksual Anak, IDI Ungkap Efeknya Bagi Tubuh

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya