Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Jakarta, IDN Times – Rentetan teror terjadi di Surabaya dalam dua hari terakhir ini. Kemarin tiga gereja dibom dan hari ini bom meledak di Mapolrestabes Surabaya. Korban berjatuhan, baik dari polisi maupun masyarakat.
Serangan teror ini mendapat perhatian luas dari publik. Sayangnya, banyak dari mereka kemudian menyebarkan foto-foto korban dengan kondisi yang mengenaskan. Bahkan sejumlah media pun ikut menyebarkan foto-foto dan video rekaman korban yang seharusnya tidak patut ditayangkan.
Nah, berikut 12 langkah versi Dewan Pers untuk wartawan yang meliput kasus terorisme.
Baca juga: [UPDATE] Bom Surabaya: Polisi Tangkap 9 dan Tembak Mati 4 Terduga Teroris
1. Keselamatan yang utama
Wartawan selalu menempatkan keselamatan jiwa sebagai prioritas di atas kepentingan berita. Saat meliput sebuah peristiwa terkait aksi terorisme yang dapat mengancam jiwa dan raga, wartawan harus membekali diri dengan peralatan untuk melindungi jiwanya.
2. Utamakan kepentingan publik
IDN Times/Sukma Shakti
Wartawan selalu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan jurnalistik. Wartawan yang mengetahui dan menduga sebuah rencana tindak terorisme wajib melaporkan kepada aparat dan tidak boleh menyembunyikan informasi itu dengan alasan untuk mendapatkan liputan eksklusif. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik sehingga keselamatan nyawa warga masyarakat harus ditempatkan di atas kepentingan berita.
3. Hindari glorifikasi tindakan terorisme
IDN Times/Sukma Shakti
Wartawan harus menghindari pemberitaan yang berpotensi mempromosikan dan memberikan legitimasi maupun glorifikasi terhadap tindakan terorisme maupun pelaku terorisme. Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terhadap kemanusiaan.
4. Tidak memberitakan secara rinci saat siaran langsung
IDN Times/Sukma Shakti
Wartawan dan media penyiaran dalam membuat siaran langsung (live) tidak melaporkan secara terinci/detail peristiwa pengepungan dan upaya aparat dalam melumpuhkan para tersangka terorisme.
Siaran secara langsung dapat memberikan informasi kepada para terduga teroris mengenai posisi dan lokasi aparat keamanan secara real time dan hal ini bisa membahayakan keselamatan anggota aparat yang sedang berupaya melumpuhkan para teroris.
5. Tidak boleh menciptakan stigma tertentu
IDN Times/Sukma Shakti
Wartawan dalam menulis atau menyiarkan berita terorisme harus berhati-hati agar tidak memberikan atribusi, gambaran, atau stigma yang tidak relevan, misalnya dengan menyebut agama yang dianut atau kelompok etnis si pelaku. Kejahatan terorime adalah kejahatan individu atau kelompok yang tidak terkait dengan agama ataupun etnis.
6. Jangan sampai salah diksi
IDN Times/Sukma Shakti
Wartawan harus selalu menyebutkan kata ”terduga” terhadap orang yang ditangkap oleh aparat keamanan karena tidak semua orang yang ditangkap oleh aparat secara otomatis adalah pelaku tindak terorisme.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Untuk menjunjung asas praduga tidak bersalah (presumption of innocense) dan menghindari pengadilan oleh pers (trial by the press) wartawan perlu mempertimbangkan penggunaan istilah “terperiksa” untuk mereka yang sedang diselidiki atau disidik oleh polisi, “terdakwa” untuk mereka yang sedang diadili, dan istilah “terpidana” untuk orang yang perkaranya telah diputus oleh pengadilan.
7. Tak perlu utarakan rincian modus
IDN Times/Sukma Shakti
Wartawan wajib menghindari mengungkap rincian modus operandi tindak pidana terorisme seperti cara merakit bom, komposisi bahan bom, atau teknik memilih sasaran dan lokasi yang dapat memberi inspirasi dan memberi pengetahuan bagi para pelaku baru tindak terorisme.
8.Tidak menyiarkan video atau foto
IDN Times/Sukma Shakti
Wartawan tidak menyiarkan foto atau adegan korban terorisme yang berpotensi menimbulkan kengerian dan pengalaman traumatik. Pemuatan foto atau adegan hanya diperbolehkan bila bertujuan untuk menyampaikan pesan kemanusiaan bahwa terorisme selalu menyasar sasaran umum dan menelan korban jiwa.
9. Cegah diskriminasi untuk keluarga pelaku
Wartawan wajib menghindari peliputan keluarga terduga teroris untuk mencegah diskriminasi dan pengucilan oleh masyarakat, kecuali dimaksudkan untuk menghentikan tindakan diskriminasi yang ada dan mendorong agar ada perhatian khusus misalnya terhadap penelantaran anak-anak terduga teroris yang bila dibiarkan akan berpotensi tumbuh menjadi teroris baru.
Terkait dengan kasus-kasus yang dapat menimbulkan rasa duka dan kejutan yang menimpa seseorang, pertanyaan dan pendekatan yang dilakukan untuk merekonstruksi kejadian dengan menemui korban keluarga korban maupun keluarga pelaku harus dilakukan secara simpatik dan bijak.
10. Perhatikan kredibilitas narasumber
IDN Times/Ardiansyah Fajar Wartawan dalam memilih pengamat sebagai narasumber wajib selalu memperhatikan kredibilitas, kapabilitas dan kompetensi terkait latar belakang, pengetahuan, dan pengalaman narasumber yang relevan dengan hal-hal yang akan memperjelas dan memberikan gambaran yang utuh terhadap fakta yang diberitakan.
11. Sortir undangan jika menerima
Dalam hal wartawan menerima undangan meliput sebuah tindakan aksi terorisme, wartawan perlu memikirkan ulang untuk melakukannya. Kalau undangan terkait dengan rencana aksi pengeboman atau aksi bom bunuh diri sebaiknya wartawan tak perlu memenuhinya, karena hal itu dapat dipandang sebagai cara memperkuat pesan teroris dan mengindikasikan ada kerja sama dalam sebuah tindakan kejahatan. Wartawan menyampaikan rencana tindak/aksi terorisme kepada aparat hukum.
Baca juga: DPR: Revisi RUU Terorisme Kelar Sebelum Lebaran