TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Juru Wabah UI: Herd Immunity Gak akan Tercapai Tanpa Vaksin 

80 persen penduduk harus divaksin dulu sebelum terinfeksi

Ngobrol seru by IDN Times dengan tema "100 Hari Pandemik Globql: Workshop Meliput COVID-19" (IDN Times/Besse Fadhilah)

Jakarta, IDN Times - Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Dr. Pandu Riono berpendapat sulit menerapkan teori herd immunity di Indonesia untuk menghadapi pandemik COVID-19. Sebab, vaksin COVID-19 sudah harus ditemukan lebih dulu sebelum virus tersebut menginfeksi masyarakat lebih banyak. 

"Gak mungkin tercapai herd immunity. Karena itu hanya tercapai kalau 80 persen penduduk terinfeksi," ungkap Pandu dalam program Ngobrol Seru by IDN Times dengan tajuk "100 Hari Pandemik Global" yang ditayangkan secara daring pada Sabtu (20/6).

Lalu, bagaimana dampaknya bila herd immunity tetap diberlakukan?

Baca Juga: Epidemiolog UI: Sistem Zonasi COVID-19 Rentan Direkayasa 

1. Epidemiolog UI nilai herd immunity sekedar teori dan belum ada negara yang berhasil

Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Dr. Pandu Riono, MPH, Ph.D dalam Ngobrol Seru: 100 Hari Pandemik Global (Tangkap Layar YouTube IDN Times)

Di dalam forum itu, Pandu juga menyebut herd immunity baru bisa diterapkan bila sudah ditemukan vaksin COVID-19. Tetapi, konsep vaksin itu sendiri yakni sengaja menginfeksi orang lain dengan kuman atau bakteri yang sudah dilemahkan, sehingga diharapkan bisa muncul kekebalan tubuh. 

"Untuk bisa mencapai herd immunity itu lebih dari 80 persen penduduk harus berhasil divaksinasi dan berhasil menimbulkan reaksi imunitas. Baru sekitar 10 persen penduduk yang tidak punya imun akan terlindung oleh sebagian besar yang punya imunitas," kata Pandu. 

Ia pun sempat meledek, bisa saja konsep herd immunity dibuat oleh orang yang sesungguhnya juga sedang sekarat karena terinfeksi COVID-19. Ia mencontohkan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson yang sempat mewacanakan konsep itu kemudian malah terpapar COVID-19. 

"Lalu, ketika dalam kondisi kritis, dia lupa tuh bahwa dia sendiri yang menyebabkan dirinya terinfeksi," ungkapnya lagi. 

Pandu berharap Indonesia juga tak perlu meniru Swedia yang juga ramai disebut-sebut menerapkan herd immunity. Sebab, bila itu yang terjadi maka dikhawatirkan rumah sakit di Indonesia tak akan sanggup merawat pasien COVID-19. 

2. Indonesia bisa belajar dari wabah polio

Imunisasi polio. ANTARA /Saiful Bahri

Menurut Pandu, Indonesia bisa belajar dari wabah penyakit polio. Menurut dia, butuh waktu puluhan tahun hingga akhirnya Indonesia bisa menghilangkan polio sebagai masalah kesehatan masyarakat. 

"Padahal, vaksinnya cuma dengan cara diteteskan. Itu saja butuh berapa puluh tahun," kata Pandu mengingatkan.

Belum lagi melihat pengalaman beberapa wilayah di Indonesia terbilang sulit cakupannya untuk menerima vaksin dalam kasus polio. Ia mengambil contoh di Papua. 

"Jadi kalau kita melakukan membiarkan penduduk Indonesia terinfeksi dengan konsep herd immunity yang tidak ada di dalam real pengalaman kita dalam peradaban manusia ini, mungkin ada zaman dulu mungkin saya gak tahu, tapi banyak orang yang akan terinfeksi dan mati," katanya lagi. "Apakah kita ikhlas?" ujarnya menanyakan kepada publik. 

Baca Juga: Gugus Tugas COVID-19 Bantah RI akan Terapkan Strategi Herd Immunity

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya