Mocoan Lontar Yusuf dan Jejak Awal Islam di Banyuwangi
Generasi muda memang perlu mengenal akar budayanya sendiri
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Banyuwangi, IDN Times - Puluhan generasi muda di Kabupaten Banyuwangi kini kian rutin belajar naskah kuno bernama Lontar Yusuf. Tradisi mocoan atau membaca yang sudah ada sejak abad 19 di Banyuwangi ini belakangan mulai bangkit setelah naskah kunonya ditulis ulang. Lontar Yusuf adalah sebuah kitab kuno dengan huruf pegon atau arab jawa yang menceritakan tentang nabi Yusuf. Naskah ini dulunya hanya dibawakan oleh masyarakat Suku Using pada acara pernikahan, khitanan, dan ritus bersih desa seperti Seblang dan Ider Bumi.
Sejak tahun 2017, seorang peneliti asal Kabupaten Banyuwangi, Wiwin Indiarti berupaya menyelamatkan isi warisan naskah Lontar Yusuf yang tersisa. Wiwin menemukan naskah tertua dan rawan rusak yang ditulis pada tahun 1890. Naskah Lontar Yusuf tersebut kemudian ditulis kembali dan diterjemahkan.
Berkat karya terjemahan dan penulisan ulang berjudul Lontar Yusuf Banyuwangi, hingga saat ini hampir 100 anak muda telah belajar membaca. Para generasi muda belajar dari tokoh adat setiap pekan, rutin sejak tahun 2018 silam.
"Kalau utuh ya mendekati 100 orang. Banyak yang rontok juga di tengah jalan, karena menikah, kerja, pindah kota, skripsi, dan lain lain. Ya begitulah dinamikanya," kata Wiwin saat dihubungi IDN Times, Kamis malam, (15/4/2021).
1. Lontar Yusuf jadi tonggak penting perjalanan Islam di Banyuwangi
Wiwin mengatakan, tradisi Mocoan Lontar Yusuf menjadi jejak penting untuk menelusuri kisah masuknya Agama Islam di Banyuwangi, terutama di kerajaan Blambangan. Kerajaan Blambangan sendiri merupakan satu-satunya kerajaan Hindu yang masih bertahan di era berakhirnya Majapahit tahun 1530-an. "Dan abad 15-16 jadi periode penting masa transisi antara kerajaan Majapahit ke Mataram yang islam," kata Wiwin.
Karakter keras warga Blambangan, kata Wiwin, membuat proses Islamisasi di tidak mudah. Hingga paruh abad 18, masyarakat Blambangan belum menganut agama Islam. Mereka baru masuk Islam ketika Blambangan runtuh pada 1768. Kitab Lontar Yusuf inilah yang menjadi salah satu media penyebaran Islam di sana.
"Kedatangan Islam juga membawa budaya tulisan Arab. Dan di tanah Jawa beradaptasi menjadi tulisan pegon. Hingga lahir pesantren-pesantren dan kesusastraan Islam-Jawa," terangnya.
Lontar Yusuf sendiri, katanya, tidak hanya populer di masyarakat Banyuwangi saja. Naskah yang ada di Banyuwangi diperkirakan disalin dari Cirebon pada tahun 1633-1634. Kendati demikian, tetap ada ciri khas dari penulisan naskah Lontar Yusuf di Banyuwangi.
"Dan Lontar Yusuf jadi satu satunya naskah kuno yang masih dibaca masyarakat pedesaan. Naskah kuno Banyuwangi lain seperti Kidung Sritanjung, Babad Blambangan, hampir tidak pernah dibaca lagi saat ini," ujar Dosen yang mengajar di Universitas PGRI Banyuwangi ini.
Baca Juga: Khas Banyuwangi, Ini 12 Kosakata Bahasa Using yang Bisa Kamu Hafalkan
Baca Juga: Hasan Gipo, Sosok Presiden NU Pertama yang Tak Banyak Diketahui
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.