Pengalaman Isolasi Mandiri di Wisma Atlet, Terpaksa Berpisah dari Anak
Klaster keluarga ada ancaman paling tinggi di DKI Jakarta
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Terinfeksi virus COVID-19 tentu bukan keinginan semua orang. Hal itu juga dialami oleh penulis.
Detak jantung berdebar lebih kencang tak seperti biasanya. Sejenak saya duduk di teras depan rumah untuk menenangkan pikiran. Selang beberapa waktu, saya mencoba pasrah dan menerima.
Saya dinyatakan terinfeksi virus corona pada awal Desember 2020 lalu, diduga terinfeksi saat melaksanakan tugas peliputan di Balai Kota DKI Jakarta. Saat itu, saya sering kontak erat dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Wakil Gubenur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria yang seminggu sebelumnya sudah lebih dulu dinyatakan positif COVID-19.
Setelah mendapat kabar saya positif COVID-19, nomor tak dikenal masuk dalam panggilan gawai. Panggilan itu rupanya dari petugas puskesmas tempat domisili saya di Jakarta Selatan.
Petugas itu menanyakan mengenai gejala yang dirasakan. Dengan jelas saya sampaikan seluruh gejala, mulai dari demam, flu hingga sempat hilang penciuman selama satu hari. Selain itu, petugas meminta istri dan anak saya untuk melakukan swab PCR keesokan harinya.
Petugas kemudian menawari saya apakah ingin isolasi mandiri di rumah atau di RSDC Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat. Saya memilih di Wisma Atlet. Alasannya, karena di rumah ada anak berusia 6 bulan (saat Desember) dan istri.
Petugas pun mencatatkan nama saya untuk masuk daftar pasien yang akan dibawa ke Wisma Atlet. Saya diantar ke Wisma Atlet dengan sejumlah pasien COVID-19 lainnya menggunakan bus sekolah. Titik kumpul berada di puskesmas kecamatan.
1. Suasana di Wisma Atlet bagi pasien baru
Bus sekolah yang membawa pasien COVID-19 berhenti tepat di depan IDG RSDC Wisma Atlet. Gedung tersebut merupakan Tower 6. Perasaan saya saat baru tiba cukup kaget karena ada banyak orang yang tengah mengantre di IGD.
Sekitar puluhan hingga ratusan orang terus berdatangan di IGD. Satu persatu nama pasien dipanggil untuk menjalani tes kesehatan mulai dari tensi, saturasi oksigen hingga ambil darah.
Setelah menjalani pemeriksaan, pasien diminta menunggu untuk mendapat kamar. Selang satu setengah jam, nama saya dipanggil bersama sekitar 12 orang.
Kami diantar seorang petugas dan dibawa ke Tower 7, ini merupakan lokasi tempat saya menjalani isolasi. Saya mendapat kamar di lantai 4. Masing-masing kamar diisi masing-masing dua orang.
Namun, kala itu saya berada di kamar sendiri. Ya, karena waktu itu kasus COVID-19 belum separah beberapa pekan ini.
Kamarnya cukup nyaman, bayangannya tipe studio apartemen, ada dua ranjang dengan sekat, satu kamar mandi dan satu dapur. Kemudian ada sofa.
Saya pun mengeluarkan pakaian yang ada di tas dan dimasukkan ke dalam lemari. Setelah itu, saya berkeliling melihat-lihat kamar, sebagai bentuk perkenalan diri.
Di hari kedua, istri menelepon mengabarkan juga positif COVID-19. Beruntung, anak satu-satunya kami yang masih berusia 6 bulan kala itu dinyatakan negatif.
Tanpa pikir panjang, kami titipkan anak kepada kakak yang sudah siap untuk menjemput. Tangis istri saya pecah ketika harus berpisah sementara dengan anak.
Di ujung telepon, tangisnya sesegukan, saya hanya bisa terdiam, tak bisa berkata-kata sejenak. Saya kemudian berusaha menenangkan dan memintanya untuk bersabar.
Editor’s picks
Namun, tangisnya tak kunjung mereda. "Nanti si dede susunya gimana?" ucapnya pilu.
Anak kami memang seratus persen diberi ASI. Jelas, hal itu menjadi kegelisahan istri saat harus berpisah dengan anak.
Baca Juga: Pasien Rawat Inap di Wisma Atlet Kemayoran Bertambah 69 Hari Ini
Baca Juga: Wisma Atlet untuk Karantina Beda Lokasi dengan RS Darurat Wisma Atlet