TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Barbershop: Bukan Sekadar Urusan Meningkatkan Ketampanan

Secara umum, tempat pangkas rambut menjual maskulinitas kepada pria. Hanya kemasannya yang berbeda.

IDN Times/Rosa Folia

Surabaya, IDN Times - "Kalian tahu, kalian semua...kalian tidak percaya apapun. Tapi ayahmu, dia percaya pada sesuatu, Calvin. Dia percaya dan memahami bahwa sesuatu yang sesederhana sedikit potongan rambut bisa mengubah perasaan seorang pria di dalam hati."

Itu adalah potongan dialog yang diucapkan Eddie (Cedric The Entertainer) kepada Calvin (Ice Cube) ketika mengetahui bahwa ia telah menjual tempat pangkas rambut warisan ayahnya dalam film "Barbershop".

Film itu menceritakan bahwa tempat cukur adalah lokasi pria kulit hitam Amerika Serikat berkumpul untuk bercakap-cakap tentang isu politik dan sosial. Bahkan, para pemuda juga belajar membentuk identitas mereka di sana.

Apa yang diceritakan dalam film tersebut memang mencerminkan keadaan saat ini. Barbershop alias tempat pangkas rambut kini tak melulu soal urusan menata rambut. Lebih dari itu, mereka juga menawarkan citra maskulinitas. 

Baca juga: Gak Mau Kalah dengan Kaesang, Pak Jokowi Cukur Rambut di Barbershop Anak Muda

1. Beberapa pria merasa perlu menata rambut di tempat yang tak menurunkan rasa maskulinitas mereka

Tulisan 'House of Handsome' semakin mempertegas kesan maskulin di The Roots Barbershop. (IDN Times/Rosa Folia)

Sebagai seorang perempuan, aku merasa semakin percaya diri setelah keluar dari salon langganan. Ini juga yang rupanya terjadi kepada para laki-laki. Beberapa bahkan sangat spesifik dalam menentukan tempat mereka memangkas atau menata rambut.

Tak sedikit pria yang enggan datang ke salon. Padahal, ada juga kapster yang bisa menangani rambut kaum adam. Bukan juga melulu persoalan harga, melainkan perkara citra diri—bahwa salon adalah untuk perempuan, sedangkan barbershop adalah untuk laki-laki.

Kristin Barber, seorang Profesor Ilmu Sosiologi di Southern Illinois University sekaligus penulis buku "Mendandani Maskulinitas: Gender, Kelas, dan Ketimpangan di Industri Perawatan Pria" berkata bahwa tempat pangkas rambut menyadari ada pria yang peduli sekali dengan maskulinitas.

Barbershop modern, termasuk di Surabaya, sangat memperhatikan desain interior mereka untuk mendukung ide tentang arti menjadi seorang pria masa kini. Tak hanya berkesan hipster, produk yang dipakai pun harganya relatif tidak murah.

2. Selama ratusan tahun, Shin Hua Barbershop menjadi saksi bagaimana urusan pangkas rambut berhubungan dengan maskulinitas

Ting Kok saat melayani teman sekolahnya yang telah menjadi pelanggan setia Shin Hua selama puluhan tahun. (IDN Times/Rosa Folia)

Jauh sebelum tempat pangkas rambut pria berkonsep modern menjamur di Surabaya, Shin Hua sudah terlebih dulu hadir sejak 1911. Lokasinya berada di kawasan Kembang Jepun yang pada masa lalu ramai dihuni oleh penduduk keturunan Tionghoa.

Kini, Shin Hua hanya diurus oleh anak laki-laki sang pendirinya, Ting Kok. Usianya menginjak 70 tahun. Kisahnya tentang perjalanan Shin Hua semakin menguatkan pandangan bahwa sejak dulu banyak pria tak rela mengorbankan maskulinitas mereka, bahkan untuk urusan rambut sekalipun.

Di suatu siang, Ting Kok bercerita kepadaku bahwa selama berpuluh-puluh tahun, ayahnya menegaskan Shin Hua hanya bersedia menangani pria. Bahkan, ia tak mau mempekerjakan perempuan. Mayoritas pria pun, kata Ting Kok, hanya mau dipotong rambutnya oleh sesama pria.

Kursi-kursi warisan yang diduduki pelanggan saat Ting Kok memangkas rambut mereka. (IDN Times/Rosa Folia)

"Laki-laki gak mau pergi ke salon. Perempuan gak mau pergi ke barbershop," ungkapnya. Pemikiran ayah Ting Kok pun seakan terwujud dari penataan interior Shin Hua. Namun, Ting Kok sendiri mengaku bahwa ketika ia naik jabatan sebagai pemilik, ia sempat mempekerjakan perempuan karena "zaman sudah berubah".

Meski begitu, pelanggan Shin Hua sedari dulu memang didominasi oleh laki-laki. Ting Kok pun tak menampik bahwa anak-anak muda sekarang juga memilih datang ke tempat khusus pria sebab itu membuat mereka lebih nyaman.

Aku membayangkan dulu di masa jayanya, Shin Hua ramai dikunjungi oleh banyak laki-laki keturunan Tionghoa di sekitarnya yang tak takut menjaga penampilan. Mereka tak hanya memotong dan mencuci rambut, tapi juga merapikan jambang. Setelahnya, mereka merasa lebih menjadi lelaki.

3. Perempuan dipandang aneh ketika memutuskan memakai jasa tukang pangkas rambut

Seorang pria yang baru pertama kali menggunakan jasa Cak No meminta rambutnya untuk dirapikan. (IDN Times/Rosa) Folia

Untuk sekali memangkas rambut di Shin Hua, pelanggan harus mengeluarkan biaya Rp 50 ribu. Bagi banyak laki-laki, jumlah itu tentu sangat mahal. Pilihan pun kerap kali jatuh kepada tempat pangkas rambut di pinggir jalan. Di Surabaya, umumnya tempat tersebut dikelola oleh pria keturunan Madura.

Salah satunya adalah Suliyono atau Cak No. Aku tak sengaja melihat tempatnya bekerja ketika melintas di area Pasar Pucang. Pangkas rambut miliknya sangat sederhana yaitu berupa tenda yang menumpang di halaman toko milik bekas tetangga sebab bangunan yang lama sudah digusur oleh Tri Rismaharini.

Tempat pangkas rambut Cak No berlokasi tepat di pinggir jalan yang menumpang di halaman sebuah toko. (IDN Times/Rosa Folia)

Perlengkapan yang dimiliki Cak No memang lebih cocok untuk kebutuhan laki-laki yang hanya ingin dipangkas rambutnya, tanpa perawatan lain-lain. Warga sekitar pun memanfaatkan jasa Cak No karena sangat murah. "Normalnya Rp 12 ribu sekali potong. Tapi dikasih berapa saja saya terima," ujarnya.

"Ya, kalau yang ke sini pasti banyak bapak-bapak. Ada juga sih anak-anak kecil karena kan depan itu sekolah. Ada satu perempuan yang maunya potong rambut di sini. Dia memang penampilannya kayak cowok. Kerja jadi satpam di bangunan sana," cerita Hesti, istri Cak No yang setia menemaninya bekerja.

Karena posisi tempat pangkas rambut Cak No di pinggir jalan dan sangat terbuka, keberadaanku yang membawa kamera cukup besar sempat menarik perhatian warga. Bahkan, seorang ibu sampai menghentikan motornya di depan kami untuk mencari tahu.

Dia terkejut ketika mendengar cerita ada perempuan menggunakan jasa Cak No. Tanpa diminta, ia pun memberikan komentarnya. "Kalau aku ya gak mau kepalaku dipegang laki-laki. Wong bukan muhrim. Ya, perempuan harusnya pergi ke salon perempuan." Hesti sendiri hanya membalasnya dengan senyum. 

Baca juga: 17 Gaya Rambut Pria Paling Trendy yang Masih Nge-hits Tahun ini

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya