TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Depresi, Ejekan, Kemudian Bunuh Diri

Kepedulian terkait kesehatan jiwa sangat penting.

Ben White via Unsplash

Artikel ini pertama kali terbit pada 27 Juli 2017

Badan kesehatan dunia, WHO sempat mengumumkan sesuatu yang mengejutkan. Setiap tahun ada sekitar 800.000 orang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Jumlah yang melakukan percobaan bunuh diri juga diyakini jauh lebih besar. Satu nyawa hilang saja sudah cukup banyak, apalagi ratusan ribu.

Rasanya data inilah yang membuat diskusi mengenai kesehatan jiwa semakin sering digelar akhir-akhir ini. Kabar baiknya adalah semakin banyak pihak yang sadar bahwa ini bukan persoalan yang bisa dikesampingkan lagi. Terlebih setelah mengetahui bahwa penyebab keinginan bunuh diri itu bisa dihindari atau disembuhkan.

Baca Juga: Chester Bennington Wafat, Depresi Hantui Pekerja Seni

Keinginan bunuh diri berhubungan dengan kesehatan jiwa dan sangat bisa dicegah.

Xavier Sotomayor via Unsplash

Ada sejumlah alasan mengapa seseorang memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup. Alasan tersebut berkaitan erat dengan kondisi kejiwaan mereka. Contohnya, depresi. Bagi penderita depresi, pikiran putus asa, bahkan hingga ingin bunuh diri, adalah hal yang biasa terjadi.

Ini seperti orang yang pusing pasti akan merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Begitu juga dengan keinginan bunuh diri yang disebabkan oleh schizophrenia maupun penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan minuman beralkohol.

Dorongan untuk bunuh diri yang ada sangat besar karena apa yang terjadi dalam otak mereka berbeda dengan orang normal. Dengan kata lain, kondisi kejiwaan yang buruk mampu mengubah pola pikir, perasaan dan perilaku seseorang serta bisa mengakibatkan kegelisahan dan kesulitan untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

Baca juga: Kim Jonghyun SHINee Ditemukan Meninggal Dunia

Padahal, depresi dan keinginan bunuh diri bukan perkara kepribadian, melainkan ada unsur lain yang jarang diketahui publik, seperti perubahan pada struktur dan fungsi otak. Alhasil, penyakit kejiwaan bukan sebuah kesengajaan yang sederhana, melainkan sesuatu yang jauh lebih rumit.

"Gejalanya memang terlihat dari perilaku sehingga orang-orang menganggap seolah-olah itu adalah kepribadian. Perilakunya "tidak sesuai dengan norma", kemudian masyarakat akan lebih mudah menghakimi itu," tambahnya.

Memberikan stigma itu tidak menolong sama sekali.

crosswalk.com

Tragisnya, sama seperti sakit kepala, faktor-faktor di atas pun sangat mungkin disembuhkan. Sayangnya, bagi banyak orang yang memiliki keinginan bunuh diri, mereka sulit mendapatkan akses untuk perawatan yang memadai. Bahkan kondisi lingkungan terdekat pun tak jarang justru meningkatkan rasa putus asa.

Stacey Freedenthal, seorang profesor yang sekaligus pekerja sosial di bidang terapi kejiwaan, mengatakan bahwa rasa malu bisa menyebabkan pikiran bunuh diri dan begitu juga sebaliknya. Artinya, orang yang memiliki pikiran bunuh diri pun sulit untuk mencari pertolongan karena mereka merasa malu.

Stigma berperan besar di sini. Benny Prawira Siauw, pendiri komunitas peduli pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa Into The Light, menilai bahwa ini karena kita masih memandang keinginan bunuh diri sebagai hal tabu, di saat ini sebenarnya merupakan permasalahan yang seharusnya bisa dibicarakan.

"Seperti orang membicarakan penyakit diabetes," ujarnya ketika dihubungi IDN Times, Senin (25/7). Ia melihat masalah besarnya adalah pada budaya yang masih suka menghakimi. "Masyarakat masih sangat judgmental sekali, dalam arti menyalahkan bahwa ini pasti karena masalah moralnya," kata Benny.

Baca Juga: [INFOGRAFIS] Tumbuh dan Suburnya Perilaku Bullying

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya