TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Henk Ngantung, Pria Kristen dan Keturunan Tionghoa Pertama yang Jadi Gubernur Jakarta

Ahok bukan gubernur Kristen dan keturunan Tionghoa yang pertama

Merdeka

Sebagian masyarakat Jakarta, bahkan Indonesia, yang beragama Islam saat ini tengah meributkan apakah boleh memilih pria non-Muslim sebagai gubernur. Ini berkaitan dengan sosok Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Nampaknya fenomena ini hanya terjadi di Jakarta, sebab di Papua, partai-partai nasionalis dan berbasis Islam mendukung calon non-Muslim.

Ahok bukanlah gubernur DKI Jakarta pertama yang memiliki status minoritas ganda: beragama Kristen dan merupakan keturunan Tionghoa. Jauh sebelum Ahok, ibukota negara pernah dipimpin oleh seorang gubernur non-muslim dan keturunan Tionghoa.

Baca Juga: Siapa Cagub-Cawagub DKI yang Memiliki Follower Instagram Paling Banyak?

Namanya Henk Ngantung, Gubernur Jakarta di masa pemerintahan Presiden Soekarno.

beritasatu.com

Henk Ngantung memiliki nama asli Hendrik Hermanus Joel Ngantung. Ia lahir di Manado pada 1 Maret 1921 dan meninggal di Jakarta pada 12 Desember 1991. Henk punya perjalanan karir yang menarik. Pada dasarnya ia bukan politisi, melainkan seorang seniman lukis.

Setelah menjadi deputi gubernur, Bung Karno mempercayakan kursi nomor satu di DKI kepadanya. Menurut sang istri, Evie Ngantung, kala itu Bung Karno ingin Jakarta dibangun dengan budaya dan seni. Presiden pertama Indonesia itu melihat Henk mampu melaksanakannya. Sayangnya, masa pemerintahannya hanya berjalan singkat, yakni pada periode 1964-1965.

Penolakan terhadapnya bukan berasal dari faktor suku maupun agama, tapi dugaan keterlibatan dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).

Merdeka

Alwi Shahab, salah seorang sejarawan Indonesia, menyebut bahwa Henk adalah contoh gubernur yang merangkul masyarakat. "Henk Ngantung tidak banyak berpolitik, tapi lebih banyak bekerja untuk rakyat, sehingga rakyat tidak merasa kalau gubernurnya non-Muslim," kata Alwi. Alwi juga berkata meski sebagai gubernur, tapi Henk tinggal di gang kecil, dan menurutnya, itu membuat Henk dekat dengan rakyat kecil.

Meski demikian, bukan berarti Henk tak pernah menerima penolakan. Sebagai seorang seniman sejati yang pernah mengabadikan peristiwa bersejarah seperti Perjanjian Linggarjati dan Perundingan Kaliurang ke dalam lukisan, ia dekat dengan organisasi budaya bernama Lekra yang berafiliasi dengan PKI.

Pada 1965, saat Gerakan 30 September bergolak, Henk dicopot dari posisinya sebagai gubernur DKI. Menurut kesaksian Evie Ngantung, Henk dituduh PKI padahal tak pernah ada bukti bahwa ia terlibat dalam politik yang digagas PKI. Dalam buku Journalism and Politics in Indonesia: A Critical Biography of Mochtar Lubis karya David T.Hill, jurnalis Mochtar Lubis pun menyebut seniman Lekra, termasuk Henk, tak pernah mau didikte oleh ideologi politis yang diusung PKI.

Baca Juga: Bukan Hanya Salat Jumat 212, Pemerintah Indonesia Pernah Laksanakan Salat Bersejarah!

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya