TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Human Rights Watch: Situasi HAM di Indonesia Memburuk pada 2019

Pemerintahan Jokowi gagal melakukan penegakan HAM

Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Bangkit Menggugat berunjuk rasa di kawasan Monas, Jakarta, pada 22 Desember 2019. Dalam aksinya tersebut mereka menuntut pemerintah segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Jakarta, IDN Times - Sejumlah Rancangan Undang-undang dan kebijakan pemerintah membuat situasi HAM di Indonesia memburuk dalam setahun terakhir. Begitulah hasil laporan Human Rights Watch dalam World Report 2020 yang baru saja dirilis.

Contohnya adalah RUU KUHP yang hampir disahkan oleh parlemen di mana di dalamnya terdapat pasal-pasal yang mengancam kebebasan berbicara dan berkumpul. DPR juga telah meloloskan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sangat membuka peluang melemahkan lembaga anti-korupsi tersebut.

1. Kebebasan agama terancam dengan penangkapan orang-orang yang dituduh melecehkan Islam

Warga melintas di depan mural bertema keberagaman agama di Maguwoharjo, Sleman, DI Yogyakarta, pada 10 Desember 2019. Mural tersebut sebagai media edukasi kepada masyarakat tentang nilai toleransi keberagaman di Indonesia serta pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Perihal kebebasan beragama, organisasi non-pemerintah yang bermarkas di New York, Amerika Serikat tersebut menyoroti penangkapan tiga perempuan selama 2019. Ketiganya ditahan karena dinilai melanggar pasal penodaan agama.

Pertama adalah Aisyah Tusalamah asal Serang yang ditahan lima bulan. Ia meyakini dirinya adalah reinkarnasi Nyi Roro Kidul dan mengutip kalimat syahadat dengan keliru. Menurut pemeriksaan para dokter, Aisyah memiliki gangguan kejiwaan berat dan tak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Kedua adalah Suzethe Margareta yang membawa seekor anjing masuk ke dalam masjid di Bogor. Ibu beragama Katolik itu ditangkap karena dilaporkan telah melakukan penodaan agama dan penganiayaan. Rupanya, Suzethe memang menderita skizofrenia. Ia pun akhirnya dibebaskan.

Ketiga adalah Eka Trisusanti Toding, perempuan Buddha yang memprotes kerasnya suara adzan di sebuah masjid di Medan. Ia dipenjara lima bulan di Sulawesi Selatan karena dituduh melecehkan Islam dalam beberapa komentar yang disampaikan di Facebook.

Baca Juga: Ini Pasal-Pasal Kontroversial di RUU KUHP yang Akhirnya Ditunda Jokowi

2. Menyuarakan pelanggaran HAM di Indonesia justru berbuntut pada penangkapan

Presiden Joko Widodo berada di geladak heli KRI Usman Harun 359 saat kunjungan kerja di Faslabuh Lanal Ranai, Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau, pada 8 Januari 2020. Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi meninjau kesiapan KRI tambahan yang akan bergabung untuk melakukan operasi pengendalian wilayah laut, khususnya di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) laut Natuna Utara. ANTARA FOTO/HO/Dispen Koarmada

Kebebasan berpendapat di Indonesia juga dianggap memburuk, terutama yang dinilai merugikan pemerintah. Contoh pertama adalah kasus yang dihadapi pengacara HAM, Veronica Koman. Ia sangat vokal di media sosial untuk menyuarakan pelanggaran HAM di Papua menyusul peristiwa rasisme terhadap mahasiswa di Surabaya.

Veronica dituduh menyebarluaskan berita bohong dan memprovokasi terjadinya kerusuhan ketika publik tidak mendapat informasi tentang apa yang terjadi di Papua sebab pemerintah memblokir internet. Kepolisian Daerah Jawa Timur pun meminta Interpol menerbitkan red notice karena Veronica tak tinggal di Indonesia.

Kemudian, pembuat film dokumenter, Dandhy Laksono, menjadi tersangka karena menuliskan cuitan soal kekerasan di Jayapura dan Wamena, Papua. Menurut polisi, ia telah memperlihatkan ujaran kebencian dan melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tak lama berselang, Dandhy dibebaskan.

3. Diskriminasi terhadap identitas gender dan orientasi seksual terus berlanjut, termasuk dengan bantuan kelompok Islam

Sejumlah warga dan alim ulama melakukan aksi penolakan keberadaan LGBT di depan Masjid Al Ishlah, Depok, Jawa Barat, pada 15 Januari 2020. Aksi tersebut untuk menolak keberadaan Lesby, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Kota Depok dan mendukung langkah Pemerintah Kota Depok melakukan razia LGBT. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Salah satu hal yang membuat Indonesia jauh dari kata progresif adalah adanya diskriminasi identitas gender dan orientasi seksual. Human Rights Watch mengamati bahwa RUU KUHP memiliki pasal yang menghukum aktivitas seksual di luar nikah.

Pasal itu secara khusus bisa menarget komunitas penyuka sesama jenis sebab Indonesia hanya mengakui pernikahan kaum heteroseksual. Homofobia juga menjalar ke institusi pendidikan. Universitas Sumatera Utara menutup paksa koran mahasiswa usai adanya publikasi kisah cinta pasangan sesama jenis.

Pihak kampus mengklaim cerita itu bisa "mempromosikan homoseksualitas" di kalangan pembaca. Dua pengurus koran tersebut melakukan banding ke pengadilan Medan, tapi ditolak. Hakim beralasan bahwa isi koran itu telah menimbulkan polemik di masyarakat.

4. Penanganan konflik di Papua disinyalir penuh dengan pelanggaran HAM

Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan konferensi pers terkait kasus Natuna di Kemenko Polhukam, Jakarta, pada 3 Januari 2020. Pemerintah Indonesia menyatakan tidak akan pernah mengakui klaim sepihak Tiongkok atas teritorial di bagian laut Natuna yang disebut Nine Dash Line seusai peristiwa masuknya kapal nelayan dan Coast Guard Tiongkok pada akhir Desember 2019 lalu. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Indonesia juga menutup mata tentang Papua dengan memblokir akses internet di sana. Alhasil, tidak ada aliran informasi yang terbuka bagi masyarakat untuk mengetahui apa yang terjadi. Video dan foto amatir tetap berseliweran di media sosial, menunjukkan beringasnya aparat dalam mengurus aksi protes masyarakat.

Human Rights Watch menemukan video soal Deiyai pada 28 Agustus 2019 yang memperlihatkan polisi menembakkan sejumlah peluru ke kerumunan massa. Sebanyak delapan orang Papua dan satu tentara Indonesia tewas, sedangkan 39 warga Papua terluka. Polisi menahan 16 orang yang dituduh memprovokasi massa.

Demonstrasi pro-Papua di Jakarta, Manokwari, Jayapura dan Sorong juga berakhir dengan penangkapan 22 orang. Mereka diduga mendorong kemerdekaan Papua dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora yang oleh pemerintah Indonesia disebut sebagai  simbol separatisme.

Baca Juga: Catatan Penting Komnas Perempuan Soal RUU KUHP

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya